Jumat, 22 Mei 2009

Bontang
Kunjungan Ibu Hamil di Bawah Standar Nasional

Senin, 16 Maret 2009 | 22:11 WITA

BONTANG - Cakupan kunjungan ibu hamil di Kota Bontang masih di bawah standar nasional. Hal ini terungkap dalam Rapat Paripurna Laporan Pertanggungawaban Wali Kota Bontang tahun anggaran 2008 pekan lalu di DPRD Bontang. Standar nasional tersebut diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1457/Menkes/SK/X/2003 tentang standar minimal pelayanan bidang kesehatan minimal di kabupaten/kota.

Dalam Bab II Pasal 2 ayat 2 disebutkan, pelayanan kesehatan minimal untuk cakupan kunjungan ibu hamil K4 95 persen. Sementara Kota Bontang tercatat 80,50 persen. Angka ini juga tidak sesuai dengan target Pemkot Bontang yang di 2008 mematok angka 90 persen untuk cakupan kunjungan ibu hamil K4.

Wali Kota Sofyan Hasdam menjelaskan, cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil (K1), di 2008 ditargetkan 100 persen. Namun hanya tercapai 85,20 persen. "Bila dibandingkan dengan pencapaian tahun 2007 sebesar 99,5 persen terjadi penurunan. Tetapi, secara kuantitas pada prinsipnya pelayanan kesehatan ibu hamil (K1) tidak mengalami penurunan.

Namun adanya peningkatan jumlah penduduk berdasarkan pendataan terbaru sebagai factor pembagi menyebabkan secara persentase terjadi penurunan jumlah ibu hamil yang mendapatkan dan memanfaatkan pelayanan kesehatan," katanya.

Ia menjelaskan, sejumlah wilayah yang belum optimal karena kondisi daerah yang agak terpencil seperti Bontang Lestari dan kepulauan. Sofyan mengakui, pencapaian tersebut masih di bawah target nasional yang ditetapkan sebesar 90 persen. Namun, Sofyan mengatakan, persalinan oleh tenaga kesehatan di 2008 memenuhi target, bahkan naik dari target 95 persen menjadi 95,20 persen.

"Hal ini menunjukkan bahwa selama tahun 2008 proses persalinan 95 persen sudah dilaksanakan oleh tenaga kesehatan. Namun sebagian kecil masyarakat yang masih memanfaatkan jasa dukun bayi terutama pada daerah terpencil dan masyarakat miskin perkotaan yang disebabkan faktor budaya, transportasi dan faktor keluarga/lingkungan meskipun pertolongan persalinan telah dibebaskan dari biaya," katanya.

Untuk indikator Bontang Sehat 2008 lainnya, Bontang kata Sofyan sudah mengalami peningkatan di atas standar nasional. Salah satunya adalah ketersediaan sarana dan tenaga pelayanan kesehatan memadai, yang mencakup Rasio Puskesmas terhadap penduduk yakni dari target 5,54 per 100.000 penduduk pada tahun 2008 tercapai sebesar 10,38 per 100.000 penduduk.

"Pencapaian target ini relatif jauh lebih baik daripada target nasional yang hanya ditetapkan >3 per 100.000 penduduk. Hal ini disebabkan pada tahun 2007 mulai bulan Juli terdapat perubahan sistem pelayanan kesehatan khususnya pada PPK I (pemberi pelayanan kesehatan tingkat I/Pertama) dimana sebelumnya dilaksanakan oleh Puskesmas, kemudian dilaksanakan oleh Dokter Keluarga. (asi)

Masih Terdapat Dukun yang Aktif Membantu Persalinan di Kota Surabaya

Tugas dan tanggung jawab bidan di Puskesmas sangat berat dan banyak. Selain menangani persalinan di Puskesmas bidan harus dapat mengawasi tumbuh kembang dan gizi balita. ”Tugas bidan memang sangat berat tetapi kalau dilaksanakan dengan ikhlas, tugas bidan menjadi sangat mulia,” ungkap dr. Esty sebagai bentuk dukungan terhadap para bidan.

Pertemuan yang dilaksanakan Hari Senin (19/5) di Ruang Pertemuan Dinas Kesehatan Kota Surabaya tersebut dihadiri oleh bidan dari 53 Puskesmas yang terdapat di Kota Surabaya. Pertemuan yang rencananya diadakan setiap dua bulan sekali tersebut bertujuan untuk meningkatkan kinerja bidan di Puskesmas. Pada pertemuan yang dilaksanakan untuk yang pertama kali ini para bidan diberi penjelasan mengenai Standar Pelayanan Minimal. Standar ini merupakan ukuran dengan batas-batas tertentu untuk tolak ukur kinerja Penyelenggaraan Kewenangan Wajib Daerah yang berkaitan dengan pelayananan dasar kepada masyarakat.

Selain bidan di Surabaya, masih terdapat sekitar 50 dukun yang aktif membantu proses persalinan. ”Padahal sesuai teori, dukun tidak boleh menangani persalinan,” ujar dr. Sri Setiyani selaku Kabid Kesehatan Masyarakat Dinkes Kota Surabaya. Sebagian besar dukun terdapat di Surabaya Utara. Ibu hamil yang menggunakan jasa dukun biasanya melakukan pemeriksaan kehamilan di Puskesmas tetapi melakukan persalinan dengan bantuan dukun. Hal tersebut sangat berbahaya mengingat minimnya pengetahuan tentang kesehatan yang dimiliki para dukun. (ito)

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN RI

1
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN RI
NOMOR 1457/MENKES/SK/X/2003
TENTANG
STANDAR PELAYANAN MINIMAL
BIDANG KESEHATAN DI KABUPATEN/KOTA
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (4) butir b
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 Pemerintah
mempunyai kewenangan untuk menetapkan pedoman
standar pelayanan minimal yang wajib dilaksanakan oleh
Kabupaten/Kota;
b. bahwa dalam rangka desentralisasi, Daerah diberi tugas,
wewenang, kewajiban dan tanggung jawab menangani
urusan pemerintahan tertentu;
c. bahwa Keputusan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan
Sosial Republik Indonesia Nomor 1747 /Menkes
Kesos/SK/12/2000 tentang Pedoman Penetapan Standar
Pelayanan Minimal dalam Bidang Kesehatan di
Kabupaten/Kota tidak sesuai lagi;
d. bahwa sehubungan butir c tersebut di atas, dipandang perlu
menetapkan kembali Standar Pelayanan Minimal bidang
Kesehatan Kabupaten/Kota dengan Keputusan Menteri
Kesehatan.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Nomor 100 Tahun 1992, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3495);
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 72,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah Dan Kewenangan Propinsi
sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000
Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
2
5. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang
Pengelolaan Dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah
(Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 202, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4022);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000 tentang
Laporan Pertanggungjawaban Kepala Daerah (Lembaran
Negara Tahun 2000 Nomor 209. Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4027);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pembinaan Dan Pengawasan (Lembaran Negara Tahun
2001 Nomor 41 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4090);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2001 tentang
Pelaporan Daerah;
9. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang
Pedoman Organisasi Perangkat Daerah;
10. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 tahun 2002
tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan
Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara
Penyusunan APBD;
11. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2001
tentang Pengawasan Represif Kebijakan daerah.
Memperhatikan : Hasil kesepakatan pembahasan bersama Departemen
Dalam Negeri, BAPPENAS, Departemen Keuangan dan
Departemen Kesehatan.
M E M U T U S K A N :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN TENTANG
STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG
KESEHATAN DI KABUPATEN/KOTA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah adalah
Menteri Kesehatan.
3
2. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta
Perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai Badan
Eksekutif Daerah.
3.
Kepala Daerah adalah Gubernur bagi Daerah Propinsi,
Bupati bagi Daerah Kabupaten dan Walikota bagi Daerah
Kota.
4. Daerah adalah Daerah Otonom Kabupaten dan Daerah
Otonom Kota.
5. Pelayanan dasar kepada masyarakat adalah fungsi
Pemerintah dalam memberikan dan mengurus keperluan
kebutuhan dasar masyarakat untuk meningkatkan taraf
kesejahteraan rakyat.
6. Standar Pelayanan Minimal bidang Kesehatan di
Kabupaten/Kota adalah tolok ukur kinerja pelayanan
kesehatan yang diselenggarakan Daerah.
BAB II
STANDAR PELAYANAN MINIMAL
BIDANG KESEHATAN
Pasal 2
(1) Kabupaten/Kota menyelenggarakan pelayanan
kesehatan sesuai Standar Pelayanan Minimal.
(2) Standar Pelayanan Minimal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berkaitan dengan pelayanan kesehatan
yang meliputi jenis pelayanan beserta indikator kinerja
dan target Tahun 2010:
a. Pelayanan kesehatan Ibu dan Bayi :
1. Cakupan kunjungan Ibu hamil K4 ( 95 %);
2. Cakupan pertolongan persalinan oleh Bidan atau
tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi
kebidanan (90 %);
3. Ibu hamil risiko tinggi yang dirujuk (100 %);
4. Cakupan kunjungan neonatus (90 %);
5. Cakupan kunjungan bayi (90%);
6. Cakupan bayi berat lahir rendah / BBLR yang
ditangani (100%).
4
b. Pelayanan kesehatan Anak Pra sekolah dan Usia
Sekolah:
1. Cakupan deteksi dini tumbuh kembang anak
balita dan pra sekolah (90%);
2. Cakupan pemeriksaan kesehatan siswa SD dan
setingkat oleh tenaga kesehatan atau tenaga
terlatih / guru UKS/Dokter Kecil (100%);
3. Cakupan pelayanan kesehatan remaja (80%).
c. Pelayanan Keluarga Berencana :
Cakupan peserta aktif KB (70%).
d. Pelayanan imunisasi :
Desa/ Kelurahan Universal Child Immunization (UCI)
(100%).
e. Pelayanan Pengobatan / Perawatan :
1. Cakupan rawat jalan (15 %);
2. Cakupan rawat inap (1,5 %).
f. Pelayanan Kesehatan Jiwa :
Pelayanan gangguan jiwa di sarana pelayanan
kesehatan umum (15%).
g. Pemantauan pertumbuhan balita :
1. Balita yang naik berat badannya (80 %);
2. Balita Bawah Garis Merah (< 15 %).
h. Pelayanan gizi :
1. Cakupan balita mendapat kapsul vitamin A 2 kali
per tahun (90%);
2. Cakupan ibu hamil mendapat 90 tablet Fe
(90%);
5
3. Cakupan pemberian makanan pendamping ASI
pada bayi Bawah Garis Merah dari keluarga
miskin (100%);
4. Balita gizi buruk mendapat perawatan (100%).
i. Pelayanan Obstetrik dan Neonatal Emergensi Dasar
dan Komprehensif :
1. Akses terhadap ketersediaan darah dan
komponen yang aman untuk menangani rujukan
ibu hamil dan neonatus (80%);
2. Ibu hamil risiko tinggi / komplikasi yang ditangani
(80%);
3. Neonatal risiko tinggi / komplikasi yang ditangani
(80%).
j. Pelayanan gawat darurat :
Sarana kesehatan dengan kemampuan pelayanan
gawat darurat yang dapat diakses masyarakat
(90%).
k. Penyelenggaraan penyelidikan epidemiologi dan
penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan
Gizi Buruk :
1. Desa/kelurahan mengalami KLB yang ditangani
< 24 jam (100%);
2. Kecamatan bebas rawan gizi (80%).
l. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Polio:
Acute Flacid Paralysis (AFP) rate per 100.000
penduduk < 15 tahun ( ≥1).
m. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit TB Paru:
Kesembuhan penderita TBC BTA positif (> 85%).
6
n. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit ISPA:
Cakupan balita dengan pneumonia yang ditangani
(100%).
o. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit HIVAIDS:
1. Klien yang mendapatkan penanganan HIV-AIDS
(100%);
2. Infeksi menular seksual yang diobati (100%).
p. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD) :
Penderita DBD yang ditangani (80%).
q. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Diare:
Balita dengan diare yang ditangani (100%).
r. Pelayanan kesehatan lingkungan :
Institusi yang dibina (70%).
s. Pelayanan pengendalian vektor:
Rumah/bangunan bebas jentik nyamuk Aedes
(>95%).
t. Pelayanan hygiene sanitasi di tempat umum :
Tempat umum yang memenuhi syarat (80%).
u. Penyuluhan perilaku sehat :
1. Rumah tangga sehat (65%);
2. Bayi yang mendapat ASI- eksklusif (80%);
3. Desa dengan garam beryodium baik (90%);
4. Posyandu Purnama (40%).
7
v. Penyuluhan Pencegahan dan Penanggulangan
Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat
Adiktif (P3 NAPZA) berbasis masyarakat:
Upaya penyuluhan P3 NAPZA oleh petugas
kesehatan ( 15%).
w. Pelayanan penyediaan obat dan perbekalan
kesehatan:
1. Ketersedian obat sesuai kebutuhan (90%);
2. Pengadaan obat esensial (100%);
3. Pengadaan obat generik (100%).
x. Pelayanan penggunaan obat generik:
Penulisan resep obat generik (90%).
y. Penyelenggaraan pembiayaan untuk pelayanan
kesehatan perorangan:
Cakupan jaminan pemeliharaan kesehatan pra bayar
(80%).
z. Penyelenggaraan pembiayaan untuk Keluarga
Miskin dan masyarakat rentan :
Cakupan jaminan pemeliharaan kesehatan Keluarga
Miskin dan masyarakat rentan (100%).
(3) Di luar jenis pelayanan yang tersebut pada ayat (2),
Kabupaten/Kota tertentu wajib menyelenggarakan
jenis pelayanan sesuai dengan kebutuhan antara
lain :
a. Pelayanan Kesehatan Kerja :
Cakupan pelayanan kesehatan kerja pada pekerja
formal (80%).
8
b. Pelayanan Kesehatan Usia Lanjut :
Cakupan pelayanan kesehatan pra usia lanjut
dan usia lanjut (70%).
c. Pelayanan gizi :
Cakupan wanita usia subur yang mendapatkan
kapsul yodium (80%).
d. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit HIVAIDS
:
Darah donor diskrining terhadap HIV-AIDS
(100%).
e. Pencegahan dan pemberantasan penyakit
Malaria:
Penderita malaria yang diobati (100%).
f. Pencegahan dan pemberantasan penyakit Kusta:
Penderita kusta yang selesai berobat (RFT rate)
(>90%).
g. Pencegahan dan pemberantasan penyakit
Filariasis:
Kasus filariasis yang ditangani ( ≥ 90%).
Pasal 3
Standar Pelayanan Minimal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3), juga diberlakukan bagi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
9
BAB III
PENGORGANISASIAN
Pasal 4
(1) Bupati/Walikota bertanggungjawab dalam
penyelenggaraan pelayanan kesehatan sesuai Standar
Pelayanan Minimal yang dilaksanakan oleh Perangkat
Daerah Kabupaten/Kota dan masyarakat;
(2) Penyelenggaraan pelayanan kesehatan sesuai
Standar Pelayanan Minimal sebagaimana dimaksud
ayat(1) secara operasional dikoordinasikan oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten/ Kota;
(3) Penyelenggaraan pelayanan kesehatan sesuai Standar
Pelayanan Minimal dilakukan oleh tenaga dengan
kualifikasi dan kompetensi yang dibutuhkan.
BAB IV
PELAKSANAAN
Pasal 5
(1) Standar Pelayanan Minimal yang ditetapkan, merupakan
acuan dalam perencanaan program pencapaian target
masing-masing DaerahKabupaten/Kota.
(2) Standar Pelayanan Minimal sebagaimana dimaksud
dalam perencanaan program pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan Standar Teknis yang ditetapkan.
(3) Sumber pembiayaan pelaksanaan pelayanan kesehatan
untuk pencapaian target sesuai Standar Pelayanan
Minimal seluruhnya dibebankan pada APBD.
10
BAB V
PEMBINAAN
Pasal 6
(1) Pemerintah dan Pemerintah Propinsi memfasilitasi
penyelenggaraan pelayanan kesehatan sesuai Standar
Pelayanan Minimal dan mekanisme kerjasama antar
Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Fasilitasi dimaksud ayat (1) dalam bentuk pemberian
standar teknis, pedoman, bimbingan teknis, pelatihan
meliputi :
a. Perhitungan kebutuhan pelayanan kesehatan sesuai
Standar Pelayanan Minimal;
b. Penyusunan rencana kerja dan standar kinerja
pencapaian target SPM;
c. Penilaian pengukuran kinerja;
d. Penyusunan laporan kinerja dalam
menyelenggarakan pemenuhan Standar Pelayanan
Minimal di bidang kesehatan.
Pasal 7
Menteri Kesehatan melaksanakan supervisi dan
pemberdayaan Daerah dalam penyelenggaraan pelayanan
kesehatan sesuai Standar Pelayanan Minimal.
BAB VI
PENGAWASAN
Pasal 8
(1) Bupati / Walikota melaksanakan pengawasan dalam
penyelenggaraan pelayanan kesehatan sesuai
Standar Pelayanan Minimal di daerah masing-masing.
11
(2) Bupati / Walikota menyampaikan laporan pencapaian
kinerja pelayanan kesehatan sesuai Standar
Pelayanan Minimal, kepada Menteri Dalam Negeri dan
Menteri Kesehatan
Pasal 9
(1). Menteri Kesehatan melaksanakan evaluasi penyelenggaraan
pelayanan kesehatan sesuai Standar
Pelayanan Minimal yang ditetapkan Pemerintah.
(2). Hasil evaluasi kemampuan Daerah dalam
menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai
Standar Pelayanan Minimal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaporkan kepada Presiden melalui
Menteri Dalam Negeri.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 10
Dengan berlakunya keputusan ini, maka keputusan Menteri
Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Nomor 1747/Menkes-
Kesos/SK/12/2000 tentang Pedoman Standar Pelayanan
Minimal Bidang Kesehatan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 11
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Oktober 2003
MENTERI KESEHATAN,
Dr. ACHMAD SUJUDI
12
PROSES PENYUSUNAN
KEWENANGAN WAJIB
DAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL
BIDANG KESEHATAN DI KABUPATEN/KOTA
Penyusunan Kewenangan Wajib dan Standar Pelayanan Minimal (KW/SPM) Bidang Kesehatan
sampai ditetapkannya KEPMENKES Nomor: 1457 / MENKES/SK/X/2003 tanggal 10 Oktober 2003
tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten / Kota melalui suatu rangkaian
kegiatan yang sangat panjang dengan melibatkan berbagai pihak, yaitu :
1. Lintas Unit Utama di Depkes, UPT Pusat, Proyek-proyek PLN Depkes yang mempunyai
kegiatan desentralisasi (PHP I, PHP II, DHS I, DHS II, HP 5, HWFS, ICDC, FHN dll)
2. MSH USAID, SOAG USAID
3. Lintas Sektor Terkait (Depdagri, Depdiknas, Bappenas, Depkeu, Menpan, BKKBN)
4. Dinas Kesehatan Propinsi/Kabupaten/Kota dan UPTD, Rumah Sakit Daerah
Propinsi/Kabupaten/Kota dan Puskesmas.
5. ADINKES dan ARSADA
6. Lintas Sektor Terkait di Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota, DPRD Propinsi/Kabupaten/Kota,
Pemda Propinsi/Kabupaten/Kota, Bappeda Propinsi/Kabupaten/Kota, Dinas Terkait di
Propinsi/Kabupaten/Kota, BKKBN Propinsi/Kabupaten/Kota, Camat )
7. Organisasi Profesi Kesehatan di tingkat Pusat/Propinsi/Kabupaten/ Kota.
8. LSM Peduli Kesehatan dan Koalisi Untuk Indonesia Sehat Tingkat
Pusat/Propinsi/Kabupaten/Kota
9. Para Pakar Perguruan Tinggi (UI, UGM, UNAIR, UNDIP, UNHAS, UNRAM, dll)
10. Para Expert/Donor Agency
11. Para Konsultan Luar Negeri dan Konsultan Domestik
12. WHO, World Bank, ADB,JICA,USAID,Aus AID, CIDA dll.
13. PERFORM USAID, BIGG
14. Team Leader TA ADB 3967 INO
Proses penyusunan KW/SPM tersebut dimulai sejak diterimanya Surat Edaran Mendagri Nomor:
100/756/OTDA tanggal 8 Juli 2002 tentang Konsep Dasar Pelaksanaan KWSPM, dimana
Departemen/LPND diminta meninjau ulang Pedoman SPM yang pernah diterbitkan (Kepmenkes dan
Kesos No: 1747/Menkes Kesos/SK/12/2000) dan menetapkan KWSPM di lingkungan
Departemennya. Selanjutnya dilakukan Model Building Exercise KW/SPM dengan melibatkan unsur
Depkes, Depdagri dan Diknas.
13
Dalam penyusunan KW/SPM Bidang Kesehatan tersebut melalui serangkaian kegiatan sebagai
berikut:
A. Tahun 2002
1. Melalui Kepmenkes Nomor: HK.00.SJ.SK.I.1253 tanggal 31 Mei 2002 dibentuk Kelompok
Kerja Pengembangan Institusi Kesehatan dengan salah satu tugasnya membangun dan
memfasilitasi penyusunan dan pemanfaatan SPM bidang kesehatan
2. Penerbitan Kepmendagri No: 100.05 – 524 tentang Pembentukan Tim Kerja Uji Coba Model
Building Kewenangan Wajib dan Standar Pelayanan Minimal Bidang Pemerintahan Dalam
Negeri , Pendidikan dan Kesehatan tanggal 30 September 2002 dengan tugas melakukan
exercise uji coba model building, sosialisasi konsep dasar kriteria KW/SPM Bidang
Kesehatan dan menyusun aturan/legal aspek Pemerintah Pusat tentang penyelenggaraan
KW/SPM Bidang Kesehatan
3. Pada bulan Agustus 2002 , Pokja Pengembangan Institusi Kesehatan bersama Staf Ahli
Menteri Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi, Biro Hukum dan
Organisasi, Unit Desentralisasi dan Unit Utama Depkes menyusun rancangan KW/SPM
Bidang Kesehatan
4. Pada bulan Agustus 2002, dilakukan pertemuan intensif di masing-masing unit utama Depkes
untuk mengembangkan indikator kinerja SPM Bidang Kesehatan.
5. Pada bulan Agustus dan September 2002, dilakukan pertemuan untuk membahas konsep
dasar pelaksanaan KW/SPM Bidang Kesehatan pada Rakorstaf Depkes , kemudian
dilanjutkan dengan pertemuan pembahasan KW/SPM di Depdagri dan di Depdiknas
6. Pada tanggal 21 – 23 Oktober 2002, rancangan KW/SPM bidang kesehatan disajikan dan
dibahas dalam Pertemuan Nasional dan Lokakarya Depkes – Adinkes seluruh Indonesia di
Jakarta.
7. Pada tanggal 22 – 23 Oktober 2002 , rancangan KW/SPM bidang kesehatan disajikan dan
dibahas dalam International Workshop Obligatory Function and Minimum Service Standard ,
yang dihadiri oleh para pakar luar negeri di Jakarta.
8. Pada tanggal 21 – 23 Nopember 2002, bersama Depdagri dan Depdiknas dilakukan
Pertemuan Pembahasan KW/SPM di Batu Malang Jawa Timur
9. Dilakukan serangkaian kegiatan Sosialisasi, Fasilitasi, Konfirmasi lapangan dan Pembahasan
terhadap rancangan KW/SPM bidang kesehatan untuk mendapatkan koreksi dan masukan
dari jajaran kesehatan dan lintas sector di Pusat/Propinsi/Kabupaten/Kota, antara lain di :
• Pertemuan Tingkat Pusat
o Tanggal 24-12-2002, Pertemuan Surveilance Epidemiologi di Bogor
o Tanggal 17-12-2002, Lokakarya Kajian Pembangunan Kesehatan di Daerah dan
Pelaksanaan SPM Bidang Kesehatan di Bogor
• Provinsi Sumatera Utara
o Tanggal 18-8-2002, Sosialisasi Kewenangan Wajib dan SPM Bidang Kesehatan
dalam Rakorstaf Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara di Medan
• Provinsi Jambi
o Tanggal 7-11-2002, Sosialisasi Kewenangan Wajib dan SPM Bidang Kesehatan
dalam Kunjungan Kerja Tim UD ke Dinas Kesehatan Provinsi Jambi
• Provinsi Bangka Belitung
14
o Tanggal 28-29 Nopember 2002, Sosialisasi Kewenangan Wajib dan SPM Bidang
Kesehatan dalam Kunjungan Kerja Tim UD ke Dinas Kesehatan Provinsi Bangka
Belitung di Pangkal Pinang
• UGM Yogyakarta
o Tanggal 30-31 Agustus 2002, Sosialisasi dan Pembahasan Rancangan Kewenangan
Wajib dan SPM Bidang Kesehatan pada Semiloka Desentralisasi Kesehatan, di
UGM-Yogyakarta.
• Provinsi Bali
o Tanggal 6 Nopember 2002, Sosialisasi Kewenangan Wajib dan SPM Bidang
Kesehatan bagi pengelola program PHP-I, di Denpasar
o Tanggal 11-12 Desember 2002, Sosialisasi Kewenangan Wajib dan SPM Bidang
Kesehatan bagi Pejabat Pemda Propinsi Bali, di Denpasar.
• Provinsi Kalimantan Barat
o Tanggal 11-11-2002, Sosialisasi Kewenangan Wajib dan SPM Bidang Kesehatan
dalam Kunjungan Kerja Tim UD ke Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat di
Pontianak.
• Provinsi Sulawesi Tenggara
o Tanggal 27-8-2002, Rakerkesda Provinsi Sulawesi Tenggara di Kendari
B. Tahun 2003
1. Pada tanggal 2 Januari 2003, dilakukan Pembahasan Rancangan KW/ SPM Bidang
Kesehatan pada Rakorstaf Sekjen
2. Pada tanggal 15 -16 Januari 2003, WHO-UGM dan Unit Desentralisasi mengadakan
Seminar tentang Kajian Aspek Pembiayaan KW/SPM Bidang Kesehatan
3. Sejak 27 Januari – 14 Maret 2003, dilakukan Uji Coba Model Building KW/SPM Bidang
Pemerintahan Dalam Negeri, Pendidikan dan Kesehatan di Propinsi Jawa Barat (Kabupaten
Cianjur & Kabupaten Cirebon), Propinsi Jawa Timur (Kabupaten Kediri & Kabupaten Blitar)
dan Propinsi NTB ( Kabupaten Lombok Timur)
4. Pada tanggal 6 Maret 2003, Rancangan KW/SPM Bidang Kesehatan disajikan dan dibahas
pada Partners Donor Meeting
5. Pada tanggal 21-22 Maret 2003 , dilakukan Workshop Finalisasi Rancangan KW/SPM
Bidang Kesehatan di Jakarta
6. Pada tanggal 27 Maret 2003 dilakukan penyajian Hasil Workshop Finalisasi Rancangan
KW/SPM Bidang Kesehatan di Bina Sentra Jakarta, dalam Rakorpim. Dalam Rakorpim
tersebut Bapak Menkes menginstruksikan agar dilakukan pembahasan lebih mendalam di 6
Unit Utama, yaitu Ditjen Binkesmas, Itjen, Badan PPSDM, Ditjen Yanmedik, Ditjen Fanfar dan
Ditjen PPMPL.
7. Bulan Maret – Juli 2003, dilakukan Rapat Teknis pada Roadshow di 6 Unit Utama Depkes
untuk pembahasan secara lebih mendalam dan menguji kembali jenis pelayanan dan SPM
Bidang Kesehatan dari KW
8. Pada tanggal 28 Maret 2003, dilakukan sosialisasi Rancangan KW/SPM Bidang Kesehatan
pada Tenaga Pendamping Desentralisasi Kesehatan (PDK) di Pusdiklat
9. Pada tanggal 22-23 April 2003 , dilakukan Lokakarya Hasil Model Building Exercise KW/SPM
Bidang Kesehatan 3 Provinsi dan 5 Kabupaten di Jakarta
15
10. Bulan Januari – April 2003 , dilakukan Operasional Research KW/SPM Bidang Kesehatan
oleh Tim UI di 8 Propinsi proyek DHS I
11. Pada tanggal 20 Juni 2003, dilakukan pertemuan Pembahasan Naskah Akademik KW/SPM
Bidang Kesehatan di Depdagri
12. Pada tanggal 7-8 Juli 2003 , dilakukan Peyusunan Draft Keppres KW/SPM Bidang Kesehatan
di Bogor
13. Pada tanggal 8 Juli 2003, dilakukan Pertemuan Pembahasan Naskah Akademik KW/SPM
Bidang Kesehatan dengan Tim TA-ADB di Depkes
14. Pada tanggal 29-31 Juli 2003, dilakukan Pembahasan Rancangan Kewenangan Wajib-SPM
Bidang Kesehatan dalam Rapat Konsultasi Teknis Kesehatan Nasional yang dihadiri seluruh
Kepala Dinas Kesehatan Propinsi, Kepala Rumah Sakit dan Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, di Depkes
15. Pada tanggal 7-8 Agustus 2003, memfasilitasi Penyusunan KW/SPM BKKBN di Bekasi
16. Pada tanggal 26 Agustus 2003, dilakukan Pertemuan Pembahasan Draft Keppres KW/SPM
di Depdagri
17. Bulan Juli-September 2003, dilakukan Pertemuan Lokakarya dan Uji Coba Penyusunan
Pedoman Advokasi KW/SPM Bidang Kesehatan
18. Pada tanggal 1 Juli 2003 dan 30 September 2003, dilakukan Pertemuan Lintas Sektoral
Pembahasan Pola Pendanaan KW/SPM oleh Eselon I Depdagri.Depkes, Depdiknas,
Depkeu,Bappenas dan para Consultant GTZ, USAID, Perform, MSH, World Bank, ADB dan
CIDA dengan Rekomendasi agar dilakukan Perampingan Daftar SPM
19. Pada tanggal 29 September 2003, dilakukan Workshop Pembiayaan KW/SPM bidang
Kesehatan interen Depkes di Jakarta
20. Pada tanggal 1 Oktober 2003, Pusgunakes melakukan Pertemuan Perumusan Kebutuhan
Jenis Tenaga Kesehatan untuk Pencapaian Target SPM Bidang Kesehatan di Jakarta
21. Pada tanggal 2 Oktober 2003 , dilakukan Pertemuan Para Staf Ahli Menteri dan Consultant
MSH untuk Perampingan Daftar Jenis Pelayanan dan SPM Bidang Kesehatan
22. Pada tanggal 3 Oktober 2003, dilakukan Pertemuan Penyusunan Draft Kepmenkes tentang
SPM Bidang Kesehatan di Kabupaten / Kota
23. Pada tanggal 3-4Oktober 2003, Biro Keuangan,Unit Desentralisasi dan MSH bersama Unit
Utama melakukan pertemuan Penyusunan Instrumen Cost Analysis Pembiayaan KW/SPM
Bidang Kesehatan
24. Pada tanggal 10 Oktober 2003, diterbitkan Kepmenkes No:1457/MENKES/SK/X/2003
tentang SPM Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota
25. Pada tanggal 13-14 Oktober 2003, dilakukan Sosialisasi Kepmenkes
No:1457/MENKES/SK/X/2003 tentang SPM Bidang Kesehatan di Kabupaten / Kota kepada
seluruh Gubernur, Bupati , Walikota, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Kabupaten/Kota dan
Direktur RSUD Propinsi/Kabupaten/Kota se Indonesia pada Pertemuan Sosialisasi Kebijakan
Depkes dan Pertemuan Nasional Adinkes Arsada di Surakarta
16
35. Pada tanggal 25 Oktober 2003, disajikan KW/SPM Bidang Kesehatan di Kabupaten / Kota
pada Seminar Nasional SPM dan Pengukuran Kinerja Pelayanan Masyarakat yang
diselenggarakan oleh PPA FE Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta bekerja sama dengan
Ditjen OTODA Depdagri dan Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan II Yogyakarta
36. Pada tanggal 27-28 Oktober 2003, dilakukan Workshop Pembiayaan KW/SPM bidang
Kesehatan External Depkes di Jakarta
37. Bulan Oktober 2003, Diseminasi Kepmenkes No:1457/MENKES/ SK/X/2003 tentang SPM
Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota melalui Surat Menteri Kesehatan kepada seluruh
Gubernur, Bupati, Walikota, Jajaran Kesehatan di Pusat dan Daerah serta Stakeholder terkait
dan melalui Website Depkes.
38. Dilakukan serangkaian kegiatan Sosialisasi, Fasilitasi, Konfirmasi lapangan dan Pembahasan
terhadap rancangan KW/SPM bidang kesehatan untuk mendapatkan koreksi dan masukan
dari jajaran kesehatan dan lintas sector di Pusat/Propinsi/Kabupaten/Kota, antara lain di :
• Pertemuan Tingkat Pusat
o Tanggal 8-1-2003, Pembahasan KW dan SPM di lingkungan Ditjen Binkesmas, di
Jakarta
o Tanggal 27-5-2003, Lokakarya Integrasi Manajemen PPM-PL di Cipayung
o Tanggal 2-9-2003, Pertemuan Pemutakhiran Data Tingkat Nasional di Jakarta
o Tanggal 8-10-2003, Pertemuan Pemantapan Program Kesga di Cisarua
o Tanggal 16-17 Juli 2003, Reorientasi KW/SPM Bidang Kesehatan bagi Pejabat
Pemda dan DPRD Propinsi/ Kabupaten/Kota se Indonesia Angkatan I di Jakarta
o Tanggal 29-31Juli 2003, Reorientasi KW/SPM Bidang Kesehatan bagi Pejabat
Pemda dan DPRD Propinsi/Kabupaten/Kota se Indonesia Angkatan II di Jakarta
• Provinsi Sumatera Utara
o Tanggal 11-12 Juni 2003, Sosialisasi KW-SPM Bidang Kesehatan di Kabupaten
Sawahlunto/Sijunjung
o Tanggal 10-15 Agustus 2003, Sosialisasi KW-SPM Bidang Kesehatan di Kabupaten
Tapanuli Tengah, Kota Sibolga dan Propinsi Sumatera Utara
• Provinsi Sumatera Barat
o Tanggal 23-8-2003, Sosialisasi KW-SPM Bidang Kesehatan di Provinsi Sumatera
Barat
• Provinsi Bengkulu
o Tanggal 20-10-2003, Sosialisasi KW-SPM Bidang Kesehatan di Rakerkesda Propinsi
Bengkulu
• Provinsi Sumatera Selatan
o Tanggal 9-9-2003, Rakerkesda Propinsi Sumatera Selatan di Palembang
• Provinsi Lampung
o Tanggal 24-7-2003, Sosialisasi KW-SPM Bidang Kesehatan di Provinsi Lampung
• Provinsi DKI Jakarta
o Tanggal 15-7-2003, Seminar Penyusunan SPM Kesehatan Ibu di DKI Jakarta
• Provinsi Jawa Barat
17
o Tanggal 4-6-2003, Sosialisasi KW-SPM Bidang Kesehatan dan Penyelarasan
Penataan Kewenangan Pemerintah, Propinsi, Kab/ Kota, di lingkungan Provinsi Jawa
Barat, di Bandung
o Tanggal 5-6-2003, Sosialisasi KW-SPM Bidang Kesehatan di Kabupaten Bekasi
• Provinsi DI Yogyakarta
o Tanggal 24-10-2003, Fasilitasi Penerapan KW/SPM Bidang Kesehatan di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta.
• Provinsi Surabaya
o Tanggal 3-4-2003, Sosialisasi KW-SPM Bidang Kesehatan di Provinsi Jawa Timur
dalam Pertemuan Launching MSH, di Surabaya.
• Provinsi Bali
o Tanggal 4-5 Agustus 2003, Sosialisasi KW-SPM Bidang Kesehatan di Kabupaten
Jembrana
o Tanggal 16-9-2003, Fasilitasi KW/SPM Bidang Kesehatan di Propinsi Bali
• Provinsi Sulawesi Utara
o Tanggal 21-7-2003, Sosialisasi KW-SPM Bidang Kesehatan di Propinsi Sulawesi
Utara
• Provinsi Sulawesi Tengah
o Tanggal 6-7 Januari 2003, Fasilitasi KW-SPM Bidang Kesehatan di Provinsi Sulawesi
Tengah
• Provinsi Sulawesi Tenggara
o Tanggal 10-11 Febuari 2003, Sosialisasi dan Fasilitasi Uji Coba “Model Building”
KW-SPM Bidang Kesehatan di Provinsi Sulawesi Tenggara.
o Tanggal 18-9-2003, Fasilitasi KW/SPM Bidang Kesehatan dalam Rakerkesda
Provinsi Sulawesi Tenggara di Kendari
• Provinsi Nusa Tenggara Timur
o Tanggal 24-26 September 2003, Sosialisasi dan Fasilitasi KW-SPM Bidang
Kesehatan dalam Pertemuan Pemutakhiran Data Kesehatan Bagi Petugas Pengelola
Program Perencanaan data dan Evaluasi Provinsi dan Kabupaten/Kota se NTT
Tahun 2003
o Tanggal 30-9-2003, Sosialisasi KW/SPM Bidang Kesehatan pada Rakerkesda
Provinsi NTT, di Denpasar
• Provinsi Kalimantan Timur
o Tanggal 23-25 Juli 2003, Sosialisasi KW-SPM Bidang Kesehatan di Provinsi
Kalimantan Timur, di Samarinda
• Provinsi Kalimantan Barat
o Tanggal 31-7-2003, Sosialisasi KW-SPM Bidang Kesehatan di Provinsi Kalimantan
Barat, di Kota Pontianak
• Provinsi Banten
o Tanggal 22-10-2003, Fasilitasi Penerapan KW/SPM Bidang Kesehatan pada
Rakerkesda Kabupaten Serang, di Serang
18
TINDAK LANJUT
KEPMENKES NO. 1457/MENKES/SK/X/2003
TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL
BIDANG KESEHATAN DI KABUPATEN/KOTA
Setelah diterbitkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor:1457/MENKES/ SK/X/2003 tanggal 10
Oktober 2003 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Kabupaten/Kota, akan segera
ditindak-lanjuti dengan beberapa kegiatan sebagai berikut:
A. Persiapan Implementasi KEPMENKES No. 1457/KEPMENKES/SK/X/2003
• Penyusunan Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis tentang Definisi Operasional,
Pembilang, Penyebut dan sumber datanya, Langkah-langkah Kegiatan & Variabelnya,
Target/Benchmarking, References Pedoman/ Standar Teknis yang dikeluarkan Depkes.
• Penyusunan Pedoman Analisis Biaya Kesehatan Untuk Implementasi SPM Dalam
Perencanaan dan Penganggaran Kesehatan Kabupaten/Kota.
• Penyusunan Pedoman Kebutuhan SDM Kesehatan
• Penyusunan Pedoman Advokasi dan Advokasi-Kit SPM Bidang Kesehatan
• Penyusunan Organisasi Perangkat Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
• Akan dilakukan Sosialisasi dan Fasilitasi/Pendampingan Penyeleng-garaan KW/SPM Bidang
Kesehatan Kabupaten/Kota
B. Penyusunan Standar Pelayanan Minimal Propinsi Bidang Kesehatan di Propinsi bersama
Depdagri, Depdiknas dan sektor terkait lain.
KESEHATAN IBU DAN BAYI DILINDUNGI PERDA PDF Print E-mail
Sunday, 21 December 2008 13:25

Soreang, (PR).-
Kesehatan ibu, bayi, bayi baru lahir, dan anak di Kab. Bandung, akan dilindungi peraturan daerah. Mereka dijamin dalam hal kualitas pelayanan kesehatan serta pemenuhan hak-haknya. Bahkan, segala pelayanan kesehatan akan digratiskan dengan standar kualitas yang baik.

Regulasi berupa Perda tentang Kesehatan Ibu, Bayi, Bayi Baru Lahir, dan Anak (Kibbla) itu, dijadwalkan akan disahkan Januari 2009. Perda yang menjadi inisiatif DPRD Kab. Bandung tersebut, diharapkan akan meningkatkan taraf kesehatan ibu dan anak di Kab. Bandung serta menurunkan angka kematian ibu dan bayi.

Demikian diungkapkan Ketua Panitia Khusus (Pansus) Raperda Kibbla DPRD Kab. Bandung Dadang Rusdiana di Soreang, Sabtu (20/12). Ia menjadi salah seorang pembicara diskusi publik Hari Ibu "Menagih komitmen Pemkab Bandung terhadap pemenuhan hak reproduksi perempuan" yang digagas Sapa Institut. Selain Dadang, pembicara lainnya Anita Rahman (Yayasan Kesehatan Perempuan/YKP), Siti Fatimah (Bandung Institute Governance Studies/BIGS), dan Harminingsih (Dinas Kesehatan Kab. Bandung).

"Substansi pokok dari perda Kibbla berupa pemenuhan hak-hak ibu, bayi, bayi baru lahir, dan anak oleh semua pihak dengan perannya masing-masing. Tidak hanya pemerintah daerah, tetapi juga kewajiban masyarakat serta swasta. Artinya, para ibu dapat menuntut jika tak dilayani hak-hak dasarnya," kata Dadang.

Menurut dia, perda tersebut memiliki peranan yang strategis dalam pembangunan di Kab. Bandung. Ia berharap, generasi mendatang memiliki derajat kesehatan lebih baik sehingga mendukung percepatan pembangunan.

Daerah terburuk

Koordinator Sapa Institut Sri Mulyati menyambut baik Perda Kibbla itu. Ia berharap, perda tersebut dapat berpengaruh langsung terhadap pengentasan permasalahan hak dan kesehatan reproduksi perempuan, khususnya perempuan muda di perdesaan.

"Hasil penelitian kita di lima kecamatan di Kab. Bandung, angka pernikahan dini masih tinggi karena kondisi ekonomi dan budaya patriarki. Penggunaan alat kontrasepsi yang tak cocok, juga menjadi masalah bagi perempuan," kata Sri.

Sementara itu yang paling krusial, kata dia, angka kematian ibu dan bayi justru lebih tinggi dari data yang dilaporkan pemerintah. Pemkab Bandung melaporkan 46 kasus kematian selama 2007, sementara di lapangan ditemukan 3-5 kasus di setiap desa dari 275 desa di Kab. Bandung. "Kondisi ini membuat Kabupaten Bandung ditetapkan sebagai daerah terburuk di Jawa Barat dalam masalah kematian ibu dan balita," ucapnya.

Kepala Bidang Pembinaan Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Kab. Bandung dr. Harminingsih membenarkan, bahwa tingkat kemiskinan menjadi penyebab tingginya angka kematian ibu dan bayi. Tahun 2009, kata dia, sekitar 95 bidan akan disebar di desa-desa hingga semua desa memiliki bidan. (A-124)***



Sumber: Harian Pikiran Rakyat, Minggu 21 Desember 2008
Standar pelayanan kebidanan

Standar Pelayanan Kebidanan (SPK) adalah rumusan tentang penampilan atau nilai diinginkan yang mampu dicapai, berkaitan dengan parameter yang telah ditetapkan yaitu standar pelayanan kebidanan yang menjadi tanggung jawab profesi bidan dalam sistem pelayanan yang bertujuan untuk meningkatan kesehatan ibu dan anak dalam rangka mewujudkan kesehatan keluarga dan masyarakat (Depkes RI, 2001: 53).



Manfaat Standar Pelayanan Kebidanan

Standar pelayanan kebidanan mempunyai beberapa manfaat sebagai berikut:

1) Standar pelayanan berguna dalam penerapan norma tingkat kinerja yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan

2) Melindungi masyarakat

3) Sebagai pelaksanaan, pemeliharaan, dan penelitian kualitas pelayanan

4) Untuk menentukan kompetisi yang diperlukan bidan dalam menjalankan praktek sehari-hari.

5) Sebagai dasar untuk menilai pelayanan, menyusun rencana pelatihan dan pengembangan pendidikan (Depkes RI, 2001:2)



Format Standar Pelayanan Kebidanan

Dalam membahas tiap standar pelayanan kebidanan digunakan format bahasan sebagai berikut:

1) Tujuan merupakan tujuan standar

2) Pernyataan standar berisi pernyataan tentang pelayanan kebidanan yang dilakukan, dengan penjelasan tingkat kompetensi yang diharapkan.

3) Hasil yang akan dicapai oleh pelayanan yang diberikan dan dinyatakan dalam bentuk yang dapat diatur.

4) Prasyarat yang diperlukan (misalnya, alat, obat, ketrampilan) agar pelaksana pelayanan dapat menerapkan standar.

5) Proses yang berisi langkah-langkah pokok yang perlu diikuti untuk penerapan standar (Depkes RI, 2001:2).

Ruang Lingkup

Ruang lingkup SPK meliputi 24 standar yaitu : standar pelayanan (2 standar), standar pelayanan antenatal (6 standar), standar pertolongan persalinan (4 standar), standar pelayanan nifas (3 standar), standar penanganan kegawatdaruratan obstetri neonatal (9 standar) (Depkes RI, 2001:3). Dasar hukum penerapan SPK adalah:

1) Undang-undang kesehatan Nomor 23 tahun 1992

Menurut Undang-Undang Kesehatan Nomer 23 tahum 1992 kewajiban tenaga kesehatan adalah mematuhi standar profesi tenaga kesehatan, menghormati hak pasien, menjaga kerahasiaan identitas dan kesehatan pasien, memberikan informasi dan meminta persetujuan (Informed consent), dan membuat serta memelihara rekam medik.

Standar profesi tenaga kesehatan adalah pedoman yang harus dipergunakan oleh tenaga kesehatan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesinya secara baik.

Hak tenaga kesehatan adalah memperoleh perlindungan hukum melakukan tugasnya sesuai dengan profesi tenaga kesehatan serta mendapat penghargaan.

2) Pertemuan Program Safe Motherhood dari negara-negara di wilayah SEARO/Asia tenggara tahun 1995 tentang SPK

Pada pertemuan ini disepakati bahwa kualitas pelayanan kebidanan yang diberikan kepada setiap ibu yang memerlukannya perlu diupayakan agar memenuhi standar tertentu agar aman dan efektif. Sebagai tindak lanjutnya, WHO SEARO mengembangkan Standar Pelayanan Kebidanan. Standar ini kemudian diadaptasikan untuk pemakaian di Indonesia, khususnya untuk tingkat pelayanan dasar, sebagai acuan pelayanan di tingkat masyarakat. Standar ini diberlakukan bagi semua pelaksana kebidanan.

3) Pertemuan Program tingkat propinsi DIY tentang penerapan SPK 1999

Bidan sebagai tenaga profesional merupakan ujung tombak dalam pemeriksaan kehamilan seharusnya sesuai dengan prosedur standar pelayanan kebidanan yang telah ada yang telah tertulis dan ditetapkan sesuai dengan kondisi di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Dinkes DIY, 1999).

4) Keputusan Mentri Kesehatan RI Nomor 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan praktek bidan. Pada BAB I yaitu tentang KETENTUAN UMUM pasal 1 ayat 6 yang berbunyi Standar profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam melaksanakan profesi secara baik.

Pelayanan kebidanan yang bermutu adalah pelayanan kebidanan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan kebidanan serta penyelenggaraannya sesuai kode etik dan standar pelayanan pofesi yang telah ditetapkan. Standar profesi pada dasarnya merupakan kesepakatan antar anggota profesi sendiri, sehingga bersifat wajib menjadi pedoman dalam pelaksanaan setiap kegiatan profesi (Heni dan Asmar, 2005:29).



Standar Pemeriksaan dan Pemantauan Antenatal

Standar pemeriksaan dan pemantauan antenatal adalah standar pelayanan kehamilan yang bertujuan memantau kemajuan kehamilan untuk memastikan kesehatan umum dan tumbuh kembang janin, mengenali secara dini adanya ketidaknormalan atau komplikasi yang mungkin terjadi selama hamil, deteksi risiko tinggi (anemi, kurang gizi, hipertensi, penyakit menular seksual), memberikan pendidikan kesehatan serta mempersiapkan persalinan cukup bulan, melahirkan dengan selamat, ibu maupun bayinya dengan trauma seminimal mungkin (Depkes RI, 2001:4).

1) Kebijakan Program

Menurut Saifuddin, dkk (2002:90), kunjungan antenatal sebaiknya dilakukan paling sedikit empat kali selama kehamilan yaitu 1 kali pada trimester pertama, 1 kali pada trimester kedua, dan 2 kali pada trimester ketiga.

2) Tujuan Pemeriksaan dan Pemantauan Antenatal

Pemeriksaan dan Pemantauan Antenatal bertujuan untuk memberikan pelayanan antenatal berkualitas dan deteksi dini komplikasi kehamilan.

3) Pernyataan Standar Pemeriksaan dan Pemantauan Antenatal

a) Bidan memberikan sedikitnya 4 kali pelayanan antenatal.

b) Pemeriksaan meliputi anamnesis dan pemantauan ibu dan janin dengan seksama untuk menilai apakah perkembangan berlangsung normal.

c) Bidan juga harus mengenal kehamilan risiko tinggi atau kelainan, khususnya anemia, kurang gizi, hipertensi, PMS/infeksi HIV; memberikan pelayanan imunisasi, nasehat dan penyuluhan kesehatan serta tugas lain yang terkait yang diberikan oleh puskesmas, mencatat data yang pada setiap kunjungan.

d) Bila ditemukan kelainan, mereka harus mampu mengambil tindakan yang diperlukan dan merujuknya untuk tindakan selanjutnya.

4) Hasil Pemeriksaan dan Pemantauan Antenatal

Hasil yang akan dicapai yaitu:

a) Ibu hamil mendapatkan pelayanan antenatal minimal 4x selama kehamilan

b) Meningkatkan pemanfaatan jasa bidan oleh masyarakat

c) Deteksi dini dan penanganan komplikasi kehamilan

d) Ibu hamil, suami, keluarga dan masyarakat mengetahui tanda bahaya kehamilan dan tahu apa yang harus dilakukan

e) Mengurus transportasi rujukan jika sewaktu-waktu terjadi kedaruratan


5) Prasyarat Pemeriksaan dan Pemantauan Antenatal

a) Bidan mampu memberikan pelayanan antenatal berkualitas, termasuk penggunaan KMS Ibu hamil dan kartu pencatatan hasil pemeriksaan kehamilan (Kartu Ibu).

b) Alat untuk pelayanan antenatal tersedia dalam keadaan baik dan berfungsi, antara lain: stetoskop, tensimeter, meteran kain, timbangan, pengukur lingkar lengan atas, stetoskop janin.

c) Tersedia obat dan bahan lain, misalnya : vaksin TT, tablet besi dan asam folat dan obat antimalaria (pada daerah endemis malaria), alat pengukur Hb sahli

d) Menggunakan KMS ibu hamil / buku KIA, kartu ibu

e) Terdapat sistem rujukan yang berfungsi dengan baik, yaitu ibu hamil risiko tinggi atau mengalami komplikasi dirujuk agar mendapatkan pertolongan yang memadai

6) Proses pemeriksaan dan pemantauan antenatal

Bidan harus:

a) Bersikap ramah, sopan dan bersahabat pada setiap kunjungan.

b) Pada kunjungan pertama, bidan;

(1) Melakukan anamnesis riwayat dan mengisi KMS Ibu hamil/ KIA, kartu ibu secara lengkap

(2) Memastikan bahwa kehamilan diharapkan

(3) Tentukan hari taksiran persalinan (HTP). Jika hari pertama haid terakhir (HPHT) tidak diketahui, tanyakan kapan pertama kali dirasakan pergerakan janin dan cocokkan dengan hasil pemeriksaan tinggi fundus uteri. Jelaskan bahwa hari taksiran persalinan hanyalah suatu perkiraan

(4) Memeriksa kadar Hb

(5) Berikan imunisasi TT (tetanus toksoid) sesuai denga ketentuan.

c) Pada setiap kunjungan, bidan harus:

(1) Menilai keadaan umum (fisik) dan psikologis ibu hamil

(2) Memeriksa urine untuk tes protein dan glukosa urine atas indikasi. Bila ada kelainan, ibu dirujuk.

(3) Mengukur berat badan dan lingkar lengan atas. Jika beratnya tidak bertambah, atau pengukuran lengan menunjukkan kurang gizi, beri penyuluhan tentang gizi dan dirujuk untuk pemeriksaan dan pengobatan lebih lanjut

(4) Mengukur tekanan darah denagn posisi ibu hamil duduk atau berbaring, posisi tetap sama pada pemeriksaan pertama maupun berikutnya. Letakkan tensimeter di permukaan yang datar setinggi jantungnya. Gunakan selalu ukuran manset yang sesuai. Ukur tekanan darah. (tekanan darah diatas 140/90 mmHg, atau peningkatan diastole 15 mmHg/ lebih sebelum kehamilan 20 minggu, atau paling sedikit pada pegukuran dua kali berturut-turut pada selisih waktu 1 jam, berarti ada kenaikan nyata dan ibu perlu dirujuk).

(5) Periksa Hb pada kunjungan pertama dan pada kehamilan 28 minggu atau lebih sering jika ada tanda-tanda anemia. Pada daerah endemis malaria beri profilaksis dan penyuluhan saat kunjungan pertama.

(6) Tanyakan apakah ibu hamil meminum tablet zat besi sesuai dengan ketentuan dan apakah persediaannya cukup. Tablet zat besi berisi 60mg zat besi dan 500mikrogram asam folat paling sedikit diminum satu tablet sehari selama 90 hari berturut-turut. Ingatkan ibu hamil agar tidak meminumnya dengan teh/kopi.

(7) Tanyakan dan periksa tanda /gejala penyakit menular seksual (PMS), dan ambil tindakan sesuai dengan ketentuan

(8) Tanyakan C:\WINDOWS\hinhem.scrapakah ibu hamil merasakan perdarahan, nyeri epigastrium, sesak nafas, nyeri perut, demam.

(10) Lakukan pemeriksaan fisik ibu hamil secara lengkap. Periksalah payudara, lakukan penyuluhan dan perawatan untuk pemberian ASI eksklusif. Pastikan bahwa kandung kencing ibu kosong sebelum diperiksa

(11) Ukur tinggi fundus uteri dalam cm dengan menggunakan meteran kain. (sesudah kehamilan lebih dari 24 minggu tinggi fundus dalam cm diukur dari simfisis pubis sampai ke fundus uteri, sesuai dengan umur kehamilan dalam minggu)

(12) Tanyakan apakah janin sering bergerak dan dengarkan denyut jantung janin. Rujuk jika tidak terdengar atau pergerakan janin menurun pada bulan terakhir kehamilan

(13) Beri nasihat tentang cara perawatan diri selama kehamilan, tanda bahaya pada kehamilan, perawatan payudara, kurang gizi dan anemia.

(14) Dengarkan keluhan yang disampaikan ibu dengan penuh minat dan beri nasihat atau rujuk jika diperlukan. Ingat, semua ibu memerlukan dukungan moril selama kehamilannya.

(15) Bicarakan tentang tempat persalinan, persiapan transportasi untuk rujukan jika diperlukan. Beri nasihat mengenai persiapan persalinan

(16) Catat semua temuan pada KMS Ibu Hamil/ buku KIA, kartu ibu. Pelajari semua temuan utuk menentukan tindakan selanjutnya, termasuk rujukan fasilitas rujukan/rumah sakit.
Ibu Menteri yang Pemberani dan Permasalahan Kesehatan di Tanah Air (Bagian 1)
Oleh rinawati sucahyo - 20 Maret 2009 - Dibaca 236 Kali -

Sehat masih menjadi masalah penting di negara ini. Namun bagaimana kesehatan dikelola saat ini, adalah yang mendorong saya untuk menyimak Save Our Nation 2 hari yang lalu di Metro TV, dengan narasumber Ibu Siti Fadilah Supari, orang nomor satu di bidang kesehatan di negara ini.

Terdapat beberapa hal yang menarik untuk disimak, dan nampaknya Ibu Menteri memang selalu terlihat mengedepankan kepentingan rakyat, dan berusaha mencari terobosan untuk mewujudkannya.

Otonomi Daerah

Dua kata ini memang telah menjadi pola baru di Pemerintahan Daerah, semua ngacu pada otonomi, hingga kadang beberapa pihak sempat mengatakan”otonomi kebablasan”. Apapun yang sempat orang katakan, realita di bidang kesehatan menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan yang sesuai standard minimal, sejatinya masih sangat butuh pengelolaan yang sentralistik. Salahsatu contoh yang Ibu Menteri kemukakan adalah mengenai ketersediaan tenaga medis di seluruh pelosok tanah air. Penempatan tenaga medis, jelas membutuhkan tangan pusat. Tetapi setelah tenaga medis tersedia, ada beberapa daerah yang karena kurang rasa kepeduliannya terhadap penangganan kesehatan secara serius di daerahnya sendiri, maka mereka kemudian bersikap kurang responsif. Dokter yang datang tidak diberikan tempat tinggal yang memadai, ada dokter yang sampai harus tidur setiap harinya di musholla kampung, karena tidak tersedianya tempat tinggal. Bagaimana dokter ini dapat mengobati orang, jika dia sendiri hidup kurang sehat, tidak memiliki ruang privacy minimal yang memadai.

Komentar saya terkait dengan otonomi daerah ini adalah :

Tanpa bermaksud menyalahkan pihak manapun, sebenarnya koordinasi antara pusat dan daerah, tanpa arogansi masing-masing, dimana Pusat tidak merasa lebih berkuasa karena telah mengalokasikan Dana Alokai Umum (DAU) dan menempatkan tenaga ahli. Serta sebaliknya Daerah juga tak perlu merasa lebih berkuasa di tanahnya karena aturan otonomi daerah yang berlaku. Ini yang diharapkan mencapai titik temu, dimana untuk hal-hal khusus pola sentralistik masih berlaku, hingga daerah benar-benar siap melaksanakan secara mandiri melalui otonomi. Pada kenyatannya tidak semua daerah memiliki kemampuan sama, sehingga pemberlakuan otonomi daerah mungkin tidak diseragamkan waktunya. Harus ada indikator penilaian kesanggupan otonomi di semua daerah, dan indikator tersebut memuat semua aspek pembangunan, termasuk bidang kesehatan.

Realisasi di lapangan sekarang memang masih banyak daerah yang kedodoran untuk memberikan layanan bidang kesehatan sesuai standard minimal, walaupun Pusat telah mengalokasikan dana, namun ada saja keterbatasan daerah untuk merealisasikannya, terutama di lokasi yang sangat sulit secara geografis. Ketersediaan obat, tenaga medis dan kelengkapan minimal puskesmas lainnya masih banyak yang belum dipenuhi sesuai standard minimal.

Nampaknya Ibu Menteri perlu mengiatkan monitoring dan evaluasi kebijakan secara langsung. Tim monitoring dan evaluasi (monev) perlu mengambil uji petik sidak ke beberapa lokasi sangat sulit di tanah air, supaya melihat langsung di lapangan, guna meminimalisir laporan ABS yang umumnya muncul di kalangan birokrasi jika laporan tersebut, hanya dilakukan secara berjenjang. Monitoring jangan hanya secara berjenjang, perlu ada kesungguhan dari Departemen Kesehatan di tingkat pusat untuk terjun langsung di titik pelaksanaan program, tentunya dengan cara inspeksi mendadak, titik tersebut ditentukan secara acak di kabupaten, sehingga kenyataan sehari-hari di lapangan akan nampak di pelupuk mata para penentu kebijakan, tanpa ada kesempatan rekayasa laporan dan sebagainya.

Kesehatan Ibu dan Anak Sebagai Indikator Keberhasilan

Sesuai kesepakatan dalam Millenium Depevelopment Goals (MDGs), maka pembangunan kesehatan di negara ini menempatkan kesehatan Ibu dan Anak sebagai indikator keberhasilan. Ini berarti kesehatan ibu dan anak memang mendapat porsi perhatian yang sangat besar. Menurut Ibu Menteri, Angka Kematian Ibu (AKI) telah mengalami penurunan, yaitu 226 / 100 ribu ibu melahirkan pada tahun 2008, setelah sebelumnya pada tahun 2002 - 2003 sebesar 307 / 100 ribu ibu melahirkan. Target MDGs adalah 125 / 100 ribu ibu melahirkan. Ini adalah sesuatu yang cukup memberi angin sejuk bagi rakyat yang mendengarnya.

Komentar saya terkait dengan kesehatan ibu dan anak adalah :

Ada perbedaan dengan pemberitaan yang dimuat situs Trijaya 87,6 FM Palembang tanggal 12 Agustus 2008, yang mengemukakan bahwa menurut World Bank, AKI di Indonesia mengalami kenaikan, dari 307 / 100 ribu ibu melahirkan pada tahun 2002 - 2003, menjadi 420 / 100 ribu ibu melahirkan pada awal tahun 2008. Hal ini agak membingungkan saya, selaku pemerhati kesehatan di negeri ini. Ataukah sistem penilaiannya berbeda ? sehingga hasilnya sangat bertolak belakang ?

Realitas di lapangan yang masih saya sering jumpai adalah belum tersedianya tenaga medis / bidan di beberapa lokasi, terutama yang sangat sulit. Sehingga para ibu yang melahirkan masih dengan pertolongan dukun/paraji. Hal ini juga kadang dipengaruhi kultur setempat, yang menjadikan masyarakat tetap lebih yakin dan ingin melahirkan dengan pertolongan dukun/paraji. Masalah penangganan yang sesuai standard kesehatan, termasuk aspek hygienis menjadi dasar mengapa penangganan oleh tenaga medis/bidan menjadi penting. Salah satu contoh kondisi yang serba sulit dan pernah saya jumpai di akhir tahun 2008, yaitu di kecamatan Cibal, kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, dimana masih banyak bidan yang bertempat tinggal di ibukota kabupaten walau pada siang hari mereka bertugas di kecamatan, sehingga jika seorang ibu melahirkan malam hari, maka umumnya mereka akan ditolong oleh dukun yang berada di lingkungannya, karena komunikasi dan transportasi dari desa ke kabupaten sangat sulit. Walaupun umumnya para ibu dengan kondisi resiko tinggi melahirkan akan segera dirujuk bidan untuk melahirakan di puskesmas, namun penangganan yang kurang hygienis pada saat melahirkan pun, dapat menjadikan seorang ibu yang tidak memilliki resiko tinggi (risti) melahirkan, menjadi dalam kondisi sangat beresiko pada masa nifas. Kiranya Departemen Kesehatan dan pemerintah daerah dapat menemukan solusi yang tepat, terkait dengan kesehatan ibu dan anak, terutama di daerah terpencil yang sangat sulit dijangkau, baik dalam hal komunikasi maupun transportasi.

Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS)

Penangganan kesehatan bagi masyarakat miskin kini dikelola dengan JAMKESMAS, bukan lagi ASKESKIN yang mempergunakan pola kerjasama dengan pihak asuransi. JAMKESMAS lebih aman dari peluang kebocoran dana, karena rumah sakit yang merawat pasien dengan JAMKESMAS langsung mengajukan biaya rawat pasien tersebut, dan dana akan langsung ditransfer melalui KPPN setempat. Ibu Menteri memandang mekanisme ini cukup baik saat ini, karena dapat meminimalisir kebocoran dana dan hemat dari sisi anggaran alokasi dana subsidi pemerintah.

Ternyata terdapat provinsi di negara ini yang tidak menerapkan JAMKESMAS, yaitu DKI Jakarta. Provinsi justru menerapkan pola khusus, dengan beberapa tingkatan klasifikasi masyarakat. Masing-masing tingkatan memiliki standard subsidi. Hal ini khusus hanya di DKI Jakarta. Sehingga yang menerima JAMKESMAS di DKI Jakarta adalah orang-orang yang justru tidak memiliki KTP DKI Jakarta. Ibu Menteri mengatakan mereka harus dilayani, karena mereka juga rakyat Indonesia. Menurut Ibu Menteri Depkes telah mendata orang-orang dengan KTP non DKI yang berdomisili di DKI, dan sebagian telah menerima kartu JAMKESMAS tersebut.

Komentar saya terkait dengan JAMKESMAS :

Sekali lagi penangganan kesehatan di negara dengan beragam sosio dan kultur penduduk ini tidak mudah, terlebih dengan diterapkannya otonomi daerah. Ada hal yang menarik tentang JAMKESMAS yang saya temui di Minahasa Utara pada pertengahan tahun lalu. Di daerah Minut ini ada komunitas masyarakat yang nomaden (berpindah-pindah) yang diistilahkan dengan orang kebun, mereka tinggal di rumah panggung, yang sewaktu-waktu dapat mereka pindah dan pasang ulang di tempat lain. Komunitas inilah yang sering lewat dari pendataan tim pengendalian kemiskinan setempat, ketika kami monitoring beberapa tidak terdata, dan justru yang sudah sangat miskin, yaitu yang hidupnya ditopang oleh perempuan sebagai kepala keluarga. Saat itu juga data diperbaiki dan segera setelah tim kami pulang ke jakarta, harapannya mereke akan menerima kartu JAMKESMAS tersebut. Inilah sekali lagi kenyataan pentingnya tim turun langsung ke lapangan, sehingga dapat menemui hal yang senyatanya ada di lokasi.

Dari tiga topik bahasan terkait dengan permasalahan kesehatan di tanah air, maka kita tidak menutup mata, bahwa sudah sangat banyak strategi yang ditempuh oleh Departemen Kesehatan dalam menanggani masalah kesehatan di tanah air. Dan Ibu Menteri nampak sangat antusias dan bersungguh-sungguh dalam mencari strategi jitu memerangi beragam permasalahan pelik kesehatan di tanah air, khususnya guna menyehatkan masyarakat miskin. Upaya luhur Beliau patutlah kita dukung, minimal dengan memberikan dorongan positif dan masukan yang kiranya dapat makin membangun negara ini secara nyata. Moho maaf sebelumnya kepada Ibu Menteri bilamana ada tutur saya yang kurang berkenan, namun sejatinya saya hanya menyampaikan apa yang saya lihat dan dengar, serta memandang perlu ikut berupaya bersama Ibu dan teman-teman se tanah air.

Tulisan ini masih akan berlanjut, semoga pembaca tidak bosan dan mendapat manfaat dari semua ini. Tak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Wahyu Andre Maryono, yang telah memberikan info acara talk show tersebut via face book. Bilamana ada teman yang sekiranya juga menonton acara dimaksud, silakan turut berkomentar dem majunya kesehatan tanah air kita, monggo…… Ini masih sesi pertama lho….

Share on Facebook Share on Twitter

6 tanggapan untuk “Ibu Menteri yang Pemberani dan Permasalahan Kesehatan di Tanah Air (Bagian 1)”

1. puti wulan suri,
— 20 Maret 2009 jam 12:08 pm

mbak rina, ibu menteri kita ini memang menarik.Jujur saya kagum terhadap beliau.
Banyak program kesehatan yang sebenarnya sudah pro rakyat tapi memang pelaksanaan didaerah banyak yang keteteran salah satunya Jamkesmas.
Berdasarkan pengalaman saya, program ini sangat bagus untuk rakyat kita, tapi banyak pemda yang belum siap menjalankan ini.Permasalahanya adalah di pendataan awal.Ini bukan pekerjaan orang kesehatan yang melakukan pendataan tapi lurah dan kepala desa setempat yang melakukan.Data kemudian diberikan ke kabupaten (bupati) baru ke dinkes setempat.Para lurah dan kepala desa ini banyak yang mengabaikan standar pemberian jamkesmas tersebut.
Tentang AKI dan AKB, memang banyak bidan yang tidak menetap di daerahnya pada malam hari, ini harus dilihat dari banyak segi salahsatunya adalah keamanan.Rata-rata bidan yang bersedia ditempatkan didaerah terpencil adalah bidan yang baru lulus, umur rata2 20an, mungkin mbak rina bisa bayangkan menempatkan anak gadis mbak ditempat yang belum jelas keamanannya pastilah riskan.
Mengenai otonomi , ini juga dapat saya kemukakan bahwa memang pemda banyak yang tidak siap menampung tenaga medis yang datang dari pusat terutama dokter.Bahkan berdasarkan pengalaman teman saya seorang dokter ptt yang baru saja tiba didaerah pttnya, tanpa sanak saudara dibiarkan begitu saja oleh pemda setempat, seperti tidak menghargai kedatangannya..

Saya hanya melihat ini semua dari apa yang saya tahu dan saya lihat, program sudah baik namun ternyata pelaksaan masih banyak kekurangannya
2. palawija,
— 20 Maret 2009 jam 3:16 pm

jabatan bupati paling lama adalah 10 tahun atau 2 periode jabatan sementara pelayanan kesehatan adalah sepanjang adanya kehidupan ini dan tuntutan pelayanan kesehatan semakin meningkat dan semakin kompleks sehingga klo urusan pelayanan kesehatan ini diserahkan oleh PEMDA pasti akan terbengkelai dan yang jadi korban adalah masyarakatnya. Sepertinya para Bupati banyak yang kurang berminat menangani masalah kesehatan dan pendidikan masyara katnya mungkin karena disektor ini keberhasilannya secara fisik kurang tampak atau sulit dikorupsi ya kasihan deh. s
Sebaiknya urusan kesehatan yang menyangkut hidup matinya masyarakat sebaiknya ditangani pemerintah pusat saja
3. Rinawati Sucahyo,
— 20 Maret 2009 jam 3:58 pm

Selamat siang Mbak Puti dan Pak Wija,

Komentarnya jadi melengkapi tulisan ini, memang benar negara ini tiada habis dan lelah menata diri dalam segala bidang, dan termasuk yang paling rumit adalah bidang kesehatan, banyak aspek yang harus diperhatikan, terakit dengan sosio dan kultur yang ada, krn semua beragam namun harus diperhatikan.

@ Mbak Puti : betul Mbak, programnya sudah baik dan ditata sedemikian rapi, namun konsep seringnya berbeda dengan kenyataan, karena pelaksanaannya memiliki kendala yang rumit dan unik utk setiap lokasi, hingga realisasi sebuah program kadang meleset dari target. Oleh karena itu monitoring yang selama ini kadang (mohon maaf) dipandang sebagai jalan-jalan hrs dipahami dan dilakukan secara serius, tdk main-main, dan langsung ke lokasi, tdk lagi laporan hanya atas dasar katanya dan asumsi sekedar untuk bumbu maksud ABS saja.

@ Pak Wija : Benar sekali Pak, sebaiknya bidang kesehatan masih dikelola langsung oleh Pusat, hingga daerah siap (artinya tdk selamanya). Strategi Desa Siaga sebenarnya jg cukup cerdas, logikanya dg menyiagakan kesehatan di setiap desa, maka akan terbentuk desa sehat hingga pada akhirnya semua masyarakat sehat hingga ke pelosok tanah air. Bidang kesehatan sama halnya dengan pendidikan, dalam jangka pendek dampaknya bisa dirasakan , tapi tdk ada monumennya spt kegiatan fisik/infrastuktur. Namun hasilnya justru dapat dilihat dalam jangka panjang, setelah Bupati tidak menjabat dan monumen bangunan hasil pembangunan infrastruktur itu usang.

Salam sukses untuk semua….
4. purwadaksina,
— 20 Maret 2009 jam 4:38 pm

Mbak Rina, selamat sore…
Saya punya kesempatan ngobrol seru bidang kesehatan kalau pas ketemu teman-teman yang berkecimpung di bidang tersebut saat ada pameran Hospital Expo-nya Dr. Robert Imam Sutedja di JCC. Saya yang bukan “ngelmu” di bidang itu sering bertanya masalah indikator keberhasilan menyehatkan masyarakat versus masih banyaknya “ponari” dan penolakan pasien miskin oleh rumah sakit. Ternyata masalahnya tidak sederhana yah ?! Saya ngikut saja deh, tapi saya tetap memilih sehat tanpa obat….!Salam.
5. omri,
— 20 Maret 2009 jam 5:42 pm

Kedengarannya seperti perbincangan para birokrat……. Saya rada ngerti, cuma nggak sampai hati untuk komentar karena berbagai alasan. Sementara itu cerita lama berulang kembali tentang KLB DBD [istilah keren untuk epidemi demam berdarah].
Saya tunggu sessi ke-2, mudah2an lebih ngerti dan tidak sungkan memberi komentar.

Salam, Omri
6. Rinawati Sucahyo,
— 20 Maret 2009 jam 10:06 pm

Terima kasih Pak Purwa dan Bung Omri,

@ Pak Purwa : saya setuju bahwa sehat baiknya tanpa obat. Kewajiban negara salahsatunya adalah menyediakan obat, mau masyarakat gunakan atau tidak yang jelas harus tersedia. Saya juga bukan orang yang ngelmu khusus tentang kesehatan. Hanya sekedar pemerhati dan kebetulan di pekerjaan menanggani hal yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas masyarakat untuk dapat mengakses layanan kesehatan di lokasi masing-masing.

@ Bung Omri : Semoga yang berikutnya dapat lebih dipahami. Mungkin kebiasaan saya membuat konsep surat yang notabene utk keperluan birokrat di kantor jadi mau tdk mau terbawa, kalau sdh bicara program pemerintah (maaf ya…). Tapi sy bukan birokrat sih…

Kalau kondisi riil di bidang kesehatan yang masih memprihatinkan, memang iya, maka saya memberi beberapa komentar terhadap pembincangan Ibu Menteri, dengan tetap dalam posisi netral, artinya saya juga memahami betapa sulitnya menata negara ini. Terlebih bidang kesehatan sangat lekat dengan pengaruh kultur, sosio dan letak geografis sasaran, yang tidak mudah menangganinya.Belum lagi dukungan pihak lain yang diperlukan kadang tidak seperti yang diharapkan, karena pihak yang berwenang sebagai pengambil kebijakan masih banyak yg kurang peduli dg masalah kesehatan. Misalnya ada Bupati yang justru kurang suka dengan suatu program kesehatan.Walaupun dana sdh dialokasikan dari pusat, namun ditolak dan tidak mau menyediakan dana dampingan. Ketika dikonfirmasi tentang kesanggupannya terhadap dana dampingan, justru mengatakan siap jika bukan program khusus kesehatan dan pendidikan. Sementara masyarakat menginginkan program tersebut tetap berjalan. Demikian sekilas gambaran betapa keberhasilan pembangunan di satu sektor sangat terkait dengan sektor yang lain, dan pastinya tergantung juga pada pucuk pimpinan di daerah, karena negara telah menerapkan otonomi daerah.

Demikian, salam….

PROGRAM KESEHATAN IBU DAN ANAK

Working Paper Series No. 21 Juli 2007,
First Draft
PROGRAM KESEHATAN IBU DAN ANAK
DI PUSKESMAS STUDI FUNGSI DINAS KESEHATAN
DI KEEROM PAPUA
One Wakur, Kristiani, Mubasysyir Hasanbasri
Katakunci:
Fungsi DHO
Program kesehatan ibu dan anak
-Tidak Untuk Disitasi-
Program Magister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan,Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta 2007
Distant Learning Resouce Center Magister KMPK UGM
http://lrc-kmpk.ugm.ac.id
2
One Wakur, Kristiani, Mubasysyir Hasanbasri; WPS no. 21 Juli 2007 1st draft
MOTHER AND CHILD HEALTH PROGRAMS IN HEALTH CENTERS, CASE STUDY
OF DHO FUNCTION AT KEEROM DISTRICT
Abstract
One Wakur1, Kristiani2, Mubasysyir Hasanbasri3
Background: Keerom is a developing district in the Province of Papua, Yet, the maternal
and infant mortality rates in this area are still high, besides the low rate of deliveries assisted
by health officers. The facts show the mother and child health (MCH) programs at
Keerom are not yet appropriately-managed. The function of district health office (DHO),
in this case MCH section influences the performance of MCH program in health centers.
Methods: This research was a descriptive research, with case study design, using qualitative
method. The subjects of this research were head of DHO, head of family and public
health department, head of MCH section, head of health centers, and midwives in charge
of MCH programs in health centers. The research instruments used in this research were indepth
interview guide, focus group discussion guide, and check list.
Results: The human resources (HR) of Keerom DHO, was very limited both in quality and in
quantity, although it had sufficient financial resource. It was due to establishment of a new
district. DHO only functioned as a distributor of facilities in supporting MCH programs in
health centers. The placement of HR was managed by the head of district, not by the MCH
section of DHO. Thus, it was not based on the needs of health officers for every health
center. Midwives were mostly concentrated at health centers and the number of them in
villages was very limited. DHO had carried out the function of monitoring, supervision, and
evaluation of MCH programs at the health centers. Function and responsibilities of MCH
section at health centers which had not been carried out were placement of midwives
based on the need, enforcement of discipline among staff, formulation of assessment and
performance analysis standard. The coverage of MCH service at the health centers had
not reached the target because of limited input which led to inoptimum implementation of
MCH programs, particularly in isolated areas.
Conclusions: The function of Keerom DHO in supporting the MCH programs in health centers
at Keerom was not yet optimal because of lack of HR and facilities. This influenced the
coverage of the MCH services, which had not achieved the expected target.
Keywords: function of DHO, mother and child health programs
1 District Health Office of Keerom, Papua
2 Salam Health Center, Magelang District
3 Master of Health Service Management & Policy, GMU.
Distant Learning Resouce Center Magister KMPK UGM
http://lrc-kmpk.ugm.ac.id
3
One Wakur, Kristiani, Mubasysyir Hasanbasri; WPS no. 21 Juli 2007 1st draft
LATAR BELAKANG
Program kesehatan ibu dan anak (KIA) merupakan salah satu prioritas
utama pembangunan kesehatan di Indonesia. Program ini bertanggung jawab terhadap
pelayanan kesehatan bagi ibu hamil, ibu melahirkan dan bayi neonatal.
Salah satu tujuan program ini adalah menurunkan kematian dan kejadian sakit di
kalangan ibu. Keerom merupakan salah satu kabupaten yang terletak di wilayah
Indonesia bagian timur. Perbandingan antara jumlah bidan dan perawat dengan
penduduk di Keerom sudah terpenuhi berdasarkan standar, namun pendistribusian
tenaga bidan masih belum merata. Kondisi geografis yang sulit menyebabkan kebutuhan
tenaga bidan semakin besar karena jumlah penduduk per desa masih relatif
sedikit, tetapi jarak antardesa berjauhan. Kondisi ini juga menyebabkan
kurangnya pengawasan terhadap bidan. Hasil observasi awal menunjukkan
bahwa ada beberapa bidan desa yang meninggalkan lokasi tugas tanpa izin dan
tidak terpantau oleh Dinas Kesehatan Keerom. Dampak dari pendistribusian
tenaga kerja yang belum merata, dan lemahnya pengawasan dari dinas kesehatan
(dinkes) menyebabkan kegiatan program kesehatan di puskesmas belum
berjalan optimal, termasuk program KIA.
Tahun 2005, jumlah persalinan yang ditolong tenaga kesehatan masih
rendah, hanya sebanyak 52 persen. Jumlah kematian ibu bersalin yang tercatat di
Keerom sebesar 4 orang. Fenomena kasus kematian ibu dan kematian bayi di
Keerom kemungkinan akibat dari dukungan Dinas Kesehatan Keerom dalam program
KIA di puskesmas belum optimal. Dalam era otonomi daerah, peran dinkes
menjadi sangat penting, termasuk dalam kegiatan program KIA1. Dinkes kabupaten/
kota sebagai unit pelaksana teknis di bidang kesehatan berfungsi sebagai
pendukung kegiatan puskesmas di wilayah kerjanya, sehingga program dapat
berjalan sesuai yang direncanakan2. Kebijakan dinkes merupakan pedoman bagi
puskesmas untuk menjalankan program kesehatan di puskesmas3. Fungsi dukungan
dinkes ke puskesmas dalam kegiatan program dapat berupa pengadaan sumber
daya manusia dan sumber daya lain yang dibutuhkan dalam pelaksanaan program
KIA. Dukungan dinkes dalam proses pelaksanaan seperti kegiatan pembinaan,
pengarahan dan pengendalian program juga dibutuhkan oleh puskesmas.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dirumuskan permasalahan “Bagaimana
fungsi Dinas Kesehatan Keerom dalam mendukung program KIA di puskesmas?”
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fungsi Dinas Kesehatan Keerom
dalam mendukung program KIA di puskesmas. Secara khusus, penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui faktor-faktor yang mendukung pelaksanaan program KIA.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan rancangan studi
kasus dan menggunakan pendekatan kualitatif. Kasus yang menjadi perhatian
penelitian ialah fungsi Dinas Kesehatan Keerom dalam mendukung program KIA di
puskesmas. Unit analisis penelitian ialah Dinas Kesehatan Keerom. Subjek peneliDistant
Learning Resouce Center Magister KMPK UGM
http://lrc-kmpk.ugm.ac.id
4
One Wakur, Kristiani, Mubasysyir Hasanbasri; WPS no. 21 Juli 2007 1st draft
tian ialah kepala Dinas Kesehatan Keerom, kasubdin kesga dan kepala seksi KIA
Dinas Kesehatan Keerom serta kepala puskesmas dan bidan penanggungjawab
program KIA. Variabel penelitian ialah faktor input, proses dan output fungsi dinas
kesehatan dalam mendukung program KIA di puskesmas. Instrumen yang
digunakan ialah pedoman wawancara dan pedoman diskusi kelompok terarah
serta penelaahan dokumen terhadap pelaksanaan kegiatan program KIA baik di
dinkes maupun di puskesmas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sumber Daya Manusia. Subdin kesehatan keluarga dan masyarakat
mempunyai tiga seksi yaitu KIA, gizi dan promosi kesehatan. Jumlah SDM masingmasing
seksi hanya satu orang. Secara keseluruhan, jumlah SDM di subdin kesehatan
keluarga dan masyarakat Keerom sebanyak 4 orang, yaitu kepala subdin
kesehatan keluarga dan masyarakat, kepala seksi KIA, kepala seksi gizi, kepala
seksi promosi kesehatan. Keterbatasan SDM di dinkes terkait erat dengan keterbatasan
jumlah SDM di Keerom. Keerom merupakan kabupaten pemekaran dari
Jayapura . Pemekaran ini menyebabkan SDM di Dinas Kesehatan Jayapura harus
dibagi 3 untuk didistribusikan untuk mengisi formasi jabatan di masing-masing kabupaten
pemekaran tersebut. SDM yang mempunyai pangkat tinggi enggan menjabat
di kabupaten pemekaran karena fasilitas seperti perumahan dan kendaraan
dinas belum tersedia. Distribusi tidak merata terjadi pada daerah pemekaran4.
SDM merupakan aset utama suatu organisasi, baik organisasi bisnis
maupun organisasi nirlaba, karena keberhasilan dan kelestarian suatu organisasi
di masa depan dipengaruhi oleh kemampuan SDM yang dimilikinya5. Walaupun
SDM bersangkutan telah mendapatkan pelatihan manajemen program dan mempunyai
pengalaman kerja yang cukup lama, namun kuantitas dan kualitas untuk
pengelola program KIA Dinas Kesehatan Keerom belum memadai.
Pendanaan. Dinas Kesehatan Keerom mendapatkan dana otonomi khusus
(otsus) Papua, dana dekonsentrasi, dan donator nntuk pelaksanaan semua program.
Dana ini dialokasikan untuk menjalankan program dinkes dan puskesmas
sebagai dana operasional. Dana yang diperoleh Pemda Keerom diterima dinkes
pada bulan Agustus sampai September dan segera didistribusikan oleh Dinas Kesehatan
Keerom. Pertanggungjawaban penggunaan dana operasional puskesmas
dan dinas harus diserahkan pada bulan Desember. Fenomena ini menunjukkan
bahwa dana untuk operasional program maupun puskesmas terlambat cair. Alokasi
dana untuk dana operasional diberikan berdasarkan Plan of Action (POA)
yang disusun oleh kepala puskesmas dan dinkes dalam rapat kerja tahunan. Puskesmas
dan kasubdin mengajukan perencanaan kegiatan program di puskesmas
dan subdinas. Perencanaan tersebut menjadi perencanaan dinkes dan diajukan ke
Pemerintah Daerah (Pemda) Keerom. Di subdin kesehatan keluarga dan masyarakat,
seksi KIA mendapatkan dana paling banyak. Dana terbesar digunakan untuk
pengadaan alat kontrasepsi yang didistribusikan untuk bidan, sebesar Rp.
250.000.000 atau 46%. Selain untuk pengadaan alat kontrasepsi, Seksi KIA juga
Distant Learning Resouce Center Magister KMPK UGM
http://lrc-kmpk.ugm.ac.id
5
One Wakur, Kristiani, Mubasysyir Hasanbasri; WPS no. 21 Juli 2007 1st draft
mendapatkan dana untuk kegiatan kemitraan dukun, supervisi bidan penyelia,
sosialisasi asuhan persalinan normal (APN), pelatihan tenaga pencatat kohort dan
sosialisasi audit maternal perinatal (AMP). Jumlah dana yang diberikan untuk seksi
KIA sebesar 57% dari seluruh dana untuk subdin kesehatan keluarga dan
masyarakat. Seksi KIA masih mendapatkan dana untuk review program dan supervisi
subdin kesehatan keluarga dan masyarakat. Pada tahun 2006, Dinas
Kesehatan Keerom terpaksa mengembalikan dana dekonsentrasi karena belum
digunakan untuk menjalankan program. Petugas tidak mempunyai waktu yang cukup
untuk menjalankan program akibat dari keterbatasan jumlah SDM di Dinas
Kesehatan Keerom. Dana dekonsentrasi ini dicairkan setiap triwulan. Pencairan
dana berikutnya dapat dilakukan bila dana yang cair sebelumnya telah dipertanggungjawabkan.
Sarana. Sebagai kabupaten pemekaran, Keerom belum mempunyai
gedung-gedung perkantoran termasuk dinkes, dan masih menggunakan gedung
sekretariat bupati. Gedung untuk dinkes masih dalam taraf pembangunan. Dinkes
menggunakan satu ruangan yang berukuran 10 x 10 meter untuk menampung
karyawan sebanyak 32 orang. Seksi KIA belum mempunyai komputer tersendiri
untuk mengelola laporan kegiatan program, sehingga laporan direkap secara
manual. Komputer yang tersedia merupakan milik subdin kesehatan keluarga, sehingga
satu komputer tersebut digunakan oleh 3 seksi dan subdinas kesehatan keluarga
dan masyarakat sekaligus. Subdin kesehatan keluarga dan masyarakat
hanya mempunyai satu sepeda motor dan digunakan oleh kepala seksi gizi.
Sarana untuk mendukung kegiatan program KIA seperti KMS, format-format laporan
dan bidan kit didapatkan dari Dinas Kesehatan Propinsi Papua, Departemen
Kesehatan, maupun donatur dari luar. Seksi KIA belum membuat perencanaan untuk
memenuhi kebutuhan sarana karena sebagian besar kebutuhan sarana dipenuhi
oleh dinas propinsi dan donatur seperti Program SCHS (Support Community
Health Services) dari Uni Eropa. Tahun 2006 Dinas Kesehatan Keerom mendapat
bantuan bidan kit dan dukun kit dari program SCHS untuk melengkapi sarana
bidan desa dan dukun terlatih. Perencanaan yang dibuat Tahun 2006 untuk
sarana program KIA hanya pengadaan alat kontrasepsi untuk program KB dan
dibagikan kepada puskesmas. Pendistribusian sarana dilakukan dengan memanggil
petugas puskesmas untuk mengambilnya.
Kebijakan. Sebagai pelaksana pembangunan kesehatan, Dinas Kesehatan
Keerom telah membuat kebijakan yang berkaitan dengan program KIA. Salah
satu kebijakan yang dibuat ialah penentuan target pelayanan KIA di wilayah kerjanya,
yaitu pencapaian cakupan minimal 80%. Penentuan target pelayanan KIA
tersebut sesuai dengan standar yang ditetapkan Depkes dalam pedoman pelaksanaan
PWS-KIA, namun kurang tepat diterapkan di Keerom karena kondisi
tenaga kesehatan dan berbagai kendala teknis yang menghambat. Kebijakan
Dinas Kesehatan Keerom tentang pelayanan KIA lebih menekankan pelayanan
yang membuat ibu merasa nyaman sesuai dengan hasil pelatihan APN. Kebijakan
tersebut sinkron dengan keadaan masyarakat Keerom masih mempercayai tradisi
budaya lokal, karena masyarakat mempunyai konsepsi tentang kehamilan, persalinan,
dan nifas berdasarkan persepsi kebudayaannya6. Kebijakan lain yang
Distant Learning Resouce Center Magister KMPK UGM
http://lrc-kmpk.ugm.ac.id
6
One Wakur, Kristiani, Mubasysyir Hasanbasri; WPS no. 21 Juli 2007 1st draft
telah dilakukan mengusulkan kepada pemda agar bidan yang tinggal di desa
lebih diperhatikan dengan memberikan tambahan insentif, menjamin keamanan,
dan memperbaiki rumah dinas. Kebijakan untuk memberi rasa aman pada bidan
dilakukan dinkes dengan mengkoordinasikan ke bupati. Dinkes juga telah memberi
kesempatan bidan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Kesempatan
yang diberikan masih dalam bentuk izin belajar, karena dinkes tidak memberikan
bantuan dana untuk melanjutkan pendidikan.
Dukungan Pendistribusian SDM
Jumlah bidan di Keerom sebanyak 38 orang. Hampir 50% bidan bertugas
di puskesmas karena pendistribusian petugas ke puskesmas tidak merata. Puskesmas
Senggi dan Web bahkan tidak mempunyai bidan yang tinggal di desa. Dari
6 puskesmas yang ada di Keerom, Puskesmas Arso Kota justru merupakan daerah
perkotaan, namun pendistribusian bidan juga belum merata. Bidan terkonsentrasi
di puskesmas. Distribusi bidan di puskesmas dijelaskan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah Bidan di Desa dan Puskesmas
Tinggal di Desa
Puskesmas Jumlah
Desa
Jumlah
Bidan N %
Arso Kota 14 14 5 36
Arso Barat 7 7 6 71
Arso III 8 8 7 87
Waris 6 5 2 40
Senggi 6 3 0 0
Web 7 1 0 0
Kabupaten 48 38 20 53
Pengaturan pendistribusian bidan desa dilakukan oleh bupati. Dinkes,
khususnya seksi KIA tidak dilibatkan dalam penempatan bidan desa. Dalam tugas
pokok dan fungsional (tupoksi) seksi KIA disebutkan bahwa seksi KIA mempunyai
kewenangan untuk mendistribusikan bidan7. Tupoksi tersebut tidak dapat dijalankan
karena keputusan menempatkan bidan dilakukan oleh bupati. Bidan
yang telah ditempatkan di desa juga tidak tinggal di desa tersebut selama 24
jam karena alasan keluarga. Hal tersebut tidak sesuai dengan konsep bidan desa
yang dikembangkan Departemen Kesehatan, karena masyarakat tidak dapat
memanfaatkan pelayanan kesehatan dari bidan desa diluar jam kerja. Hasil
penelitian di Palangkaraya didapatkan bahwa bidan yang ditempatkan di desa
terpencil mengkhawatirkan masalah pendidikan anak-anaknya8. Keterbatasan
jumlah tenaga kesehatan yang bertugas bukan hanya tenaga kesehatan kebidanan
namun tenaga kesehatan secara keseluruhan. Hal tersebut diperparah
dengan pendistribusian yang kurang merata. Peran dinkes dinilai kepala puskesmas
belum optimal berkaitan dengan penempatan bidan desa dalam menunjang
Distant Learning Resouce Center Magister KMPK UGM
http://lrc-kmpk.ugm.ac.id
7
One Wakur, Kristiani, Mubasysyir Hasanbasri; WPS no. 21 Juli 2007 1st draft
pelaksanaan program KIA. Dinkes belum memberikan perhatian terhadap bidan
agar betah bertugas di Keerom, terutama yang ditugaskan di daerah-daerah
terpencil. Selama ini, bidan diberi uang motivasi dari Pemda Keerom sebesar Rp.
200.000. Pemberian insentif tersebut tidak dibedakan berdasarkan lokasi tugas.
Dukungan Pendistribusian Sarana
Peran dinas kesehatan terhadap ketersediaan sarana kegiatan program
KIA di puskesmas hanya sebagai distributor. Berdasarkan catatan dinas kesehatan,
hampir semua bidan telah mempunyai bidan kit untuk menolong persalinan.
Hanya 2 orang dari 38 orang yang belum mempunyai bidan kit. Ketersediaan
sarana bidan kit pada bidan secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kelengkapan Sarana Persalinan Bidan
Punya Kit
Puskesmas Jumlah
N %
Arso Kota 14 14 100,0
Arso Barat 7 7 100,0
Arso III 8 8 100,0
Waris 5 4 80,0
Senggi 3 2 67
Web 1 1 100,0
Kabupaten 38 36 95
Dinas Kesehatan Keerom belum mengupayakan ketersediaan formatformat
pelaporan, seperti buku KIA, laporan kegiatan bulanan dan sebagainya.
Buku KIA digunakan untuk pemantauan kehamilan dan kelahiran serta tumbuh
kembang balita. Format laporan kegiatan program KIA digunakan untuk melaporkan
cakupan program KIA. Kartu Menuju Sehat (KMS) ialah kartu yang diberikan
pada ibu balita untuk pemantauan tumbuh kembang anak. KMS sebagai alat
pemantau tumbuh kembang balita di posyandu tidak disediakan oleh Dinas Kesehatan
Keerom. Bidan terpaksa menggandakan KMS sendiri. Sarana untuk melakukan
pelayanan kebidanan telah dianggap cukup lengkap, namun untuk melayani
panggilan masyarakat, terutama pada malam hari, bidan mengalami kesulitan.
Bidan memang mengeluhkan masalah transportasi untuk mengunjungi pasien yang
menjadi masalah bagi bidan. Faktor geografis sering menghambat pelaksanaan
pelayanan KIA. Bidan terpaksa terlambat datang memberikan pertolongan
karena rumah pasien yang sulit dijangkau, terlebih pada musim hujan. Keterlambatan
petugas menolong persalinan kadang menyebabkan kemarahan masyarakat
terhadap petugas. Masyarakat menuntut pelayanan yang cepat namun petugas
terhambat oleh geograsfis yang sulit dijangkau. Selain masalah transportasi,
bidan mengeluhkan tempat tinggal di desa yang kurang representatif baginya,
sehingga memerlukan perbaikan.
Distant Learning Resouce Center Magister KMPK UGM
http://lrc-kmpk.ugm.ac.id
8
One Wakur, Kristiani, Mubasysyir Hasanbasri; WPS no. 21 Juli 2007 1st draft
Dukungan Pendistribusian Dana
Dana untuk kegiatan KIA didistribusikan oleh dinkes melalui puskesmas
dalam bentuk dana operasional puskesmas. puskesmas selanjutnya mendistribusikan
ke semua program puskesmas, termasuk kepada pengelola program KIA. Alokasi
dana untuk kegiatan KIA di puskesmas tergantung kebijakan kepala puskesmas.
Ketidakterbukaan pihak puskesmas tentang dana untuk kegiatan KIA menyebabkan
bidan tidak mampu menjalankan kegiatan sesuai kebutuhannya, seperti
mengadakan pelatihan bagi dukun penolong persalinan. Keterbukaan pimpinan
dalam pengelolaan keuangan puskesmas akan meningkatkan rasa kebersamaan
staf dalam melaksanakan tugasnya9.
Pengawasan, Pembinaan dan Evaluasi
Hasil observasi dokumentasi tentang kegiatan pembinaan teknis tidak
ditemukan adanya dokumen pelaksanaan pengawasan ke puskesmas. Dinkes belum
mampu melakukan pengawasan secara langsung terhadap kegiatan KIA di
puskesmas dengan melakukan kunjungan ke puskesmas. Dinas Kesehatan Keerom
belum mempunyai standar baku untuk melakukan penilaian kinerja bidan. Instrumnen
tersebut digunakan untuk mengetahui standar kompetensi bidan. Pengawasan
dilakukan hanya dengan mempelajari laporan bulanan. Pengawasan secara langsung
tidak dapat dilakukan dikarenakan keterbatasan SDM dan kesulitan untuk
menjangkau puskesmas. Pihak puskesmas juga mengalami kesulitan untuk menjangkau
dinkes. Kesulitan karena kondisi geografis juga berdampak pada pelatihan
bidan. Bidan daerah perkotaan lebih sering mendapatkan pelatihan ataupun
pembinaan dari dinkes. Bagi bidan, peran Dinas Kesehatan Keerom dalam pembinaan
kemampuan bidan telah dilakukan dengan memberikan pelatihan, namun
belum merata, karena bidan yang dilatih hanya yang bertugas di puskesmas.
Pengawasan program KIA terlaksana dengan baik bila dilengkapi dengan tindak
lanjut berupa perbaikan dalam pelaksanaan pelayanan KIA intensifikasi pergerakan
pelayanan KIA dan mobilisasi sumber daya yang diperlukan agar meningkatkan
jangkauan dan mutu pelayanan KIA (Departemen Kesehatan RI, 2002). Dinas
Kesehatan Keerom belum melakukan supervisi terhadap bidan yang bertugas di
puskesmas maupun di desa. Keterbatasan SDM merupakan faktor yang menyebabkan
dukungan supervisi belum dijalankan oleh dinkes. Seksi KIA mengusulkan
untuk supervisi dilakukan oleh bidan koordinator puskesmas. Hasil penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa supervisi dari dinkes sangat berpengaruh terhadap
cakupan program di puskesmas. Penelitian di Kota Bengkulu menemukan dukungan
supervisi dari Dinas Kesehatan Kota Bengkulu terhadap puskesmas di wilayah kerjanya
belum dilakukan sesuai dengan standar yang ditetapkan Departemen Kesehatan,
sehingga angka cakupan di beberapa puskesmas belum tercapai sesuai
target11.
Pengelolaan Laporan. Laporan kegiatan KIA yang dikelola puskesmas
berasal dari pelayanan bidan desa dan KIA di puskesmas. Laporan tersebut
dikelola oleh pemegang program KIA puskesmas. Pengelola program KIA melaporkan
hasil pelayanan KIA ke seksi KIA Dinas Kesehatan Keerom. Penempatan
Distant Learning Resouce Center Magister KMPK UGM
http://lrc-kmpk.ugm.ac.id
9
One Wakur, Kristiani, Mubasysyir Hasanbasri; WPS no. 21 Juli 2007 1st draft
bidan yang masih terkonsentrasi di puskesmas, menyebabkan data dari desa tidak
dapat diperoleh dengan cepat. Hal tersebut berpengaruh dalam pengiriman
laporan dari puskesmas ke dinkes. Pelaporan kegiatan program KIA dari beberapa
puskesmas tersebut belum dilakukan secara rutin setiap bulan karena
keterlambatan pengiriman data dari bidan desa ke puskesmas. Faktor geografis
menjadi hambatan pelaksanaan pelaporan dari desa ke puskesmas dan dari
puskesmas ke dinkes. Beberapa puskesmas terpaksa melaporkan kegiatan program
KIA dalam waktu 2 bulan sekali. Hasil penelaahan dokumen tentang laporan
puskesmas ke dinkes belum berjalan secara rutin setiap bulan, khususnya puskesmas
sangat terpencil. Data yang akurat sangat dibutuhkan dalam kegiatan pemantauan
dan12. Data kegiatan program KIA dari puskesmas ke dinkes merupakan
bahan untuk melakukan pemantauan dan pengawasan kegiatan program
KIA di Keerom. Hasil rekapitulasi PWS KIA di Kabupaten/Kota dapat digunakan
untuk menentukan puskesmas yang rawan (Departemen Kesehatan RI, 2002).
Keterlambatan tersebut berarti menyebabkan PWS KIA tidak terlaksana secara
optimal.
Cakupan Pelaksanaan Pelayanan KIA di Puskesmas
Salah satu kegiatan program KIA di puskesmas ialah pemantauan kesehatan
ibu hamil melalui kunjungan ke bidan. Indikator pelaksanaan pemantauan
ibu hamil dapat dilihat dari angka cakupan K1 (kunjungan pertama) dan K4 (kunjungan
keempat). Cakupan pelayanan program KIA K1 puskesmas di Keerom tidak
mencapai target yang telah ditetapkan, yaitu 81% (Tabel 3).
Tabel 3. Jumlah Bumil K1 dan K4
K1 K1 Murni K4
Puskesmas Sasaran
N % n % n %
Frekuensi
Laporan
Arso Kota 343 194 56,56 82 23,91 92 26,82 11
Arso Barat 214 128 59,81 90 42,06 104 48,6 11
Arso III 324 267 82,41 166 51,23 155 47,84 11
Waris 62 55 88,71 22 35,48 29 46,77 9
Senggi 81 44 54,32 10 12,35 10 12,35 10
Web 102 46 45,10 6 5,88 6 5,88 3
Kabupaten 1125 734 65,24 376 33,42 396 35,2
Hanya 2 puskesmas yang mencapai target K1 yaitu Arso III dan Waris.
Bahkan semua puskesmas tidak mencapai target cakupan K1 murni dan K4 yang
telah ditetapkan. Penghitungan K4 dilakukan terhadap K1 murni. Cara menghitung
ibu hamil yang melakukan K4 dimulai dari K1 murni menyebabkan cakupan K4
menurun sangat drastis. Target cakupan K1 murni dan K4 tidak terpenuhi kemungkinan
disebabkan karena jumlah bidan yang tinggal di desa sangat terbatas dan
karena hambatan jarak dan geografis. Penelitian di Ethiopia menunjukkan responden
mengeluhkan jarak layanan kesehatan yang terlalu jauh dari rumah13.
Angka cakupan yang diberikan puskesmas ke dinkes tidak lengkap. Selama bulan
Januari sampai November 2006, Puskesmas Waris hanya melaporkan 9 kali,
Distant Learning Resouce Center Magister KMPK UGM
http://lrc-kmpk.ugm.ac.id
10
One Wakur, Kristiani, Mubasysyir Hasanbasri; WPS no. 21 Juli 2007 1st draft
Puskesmas Senggi 10 kali, bahkan Puskesmas Web hanya melaporkan 3 kali. Hal
tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat puskesmas yang tidak rutin setiap
bulan melaporkan kegiatan KIA ke Dinas Kesehatan Keerom. Standar minimal
yang harus dikerjakan petugas pada ibu hamil yang berkunjung ke pelayanan
antenatal, di antaranya memberikan imunisasi TT dan memberikan tablet Fe 90
tablet selama kehamilan10. Semua puskesmas belum mencapai target cakupan
pemberian imunisasi TT dan pemberian tablet Fe di Keerom (Tabel 4).
Tabel 4. Cakupan Imunisasi TT dan Pemberian Tablet Fe
TT1 TT2 Fe1 Fe3
Puskesmas Target
N % n % n % n %
Arso Kota 81% 46 13,99 110 33,33 240 72,72 221 66,96
Arso Barat 81% 21 10,19 31 15,04 149 72,33 116 56,31
Arso III 81% 153 48,72 76 24,20 274 87,26 216 68,78
Waris 81% 3 5,08 5 8,47 31 52,54 13 22,03
Senggi 81% 6 6,67 37 43,02 53 61,62 27 31,39
Web 81% 0 0 11 8,94 57 46,34 40 32,52
Kabupaten 81% 229 20,64 270 23,34 804 72,49 633 57,07
Imunisasi TT2 dan pemberian tablet Fe3 mengalami penurunan kemungkinan
karena kunjungan ibu hamil dilakukan pada trimester akhir. Hal tersebut
memperkuat fakta bahwa kunjungan K1 dibandingkan K1 murni menunjukkan 2
kali lebih tinggi.
Tabel 5. Jumlah Persalinan
Cakupan
Puskesmas Sasaran Target
n %
Frekuensi
Laporan
Arso Kota 343 80% 103 31,50 11
Arso Barat 214 80% 109 53,17 11
Arso III 324 80% 202 65,37 11
Waris 62 80% 25 42,37 9
Senggi 81 80% 26 33,77 10
Web 102 80% 10 10,20 6
Kabupaten 1125 80% 475 44,06
Tabel 5 menunjukkan bahwa cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan
juga belum mencapai target. Hal tersebut kemungkinan karena faktor jumlah
tenaga kesehatan yang terbatas dan faktor budaya masyarakat yang masih kuat
mempercayai tradisi lokal. Keterbatasan jumlah tenaga kesehatan di desa menyebabkan
masyarakat kesulitan mendapatkan pelayanan tenaga kesehatan. Di
sisi lain, masyarakat masih mempercayai dukun. Dukun juga enggan bekerjasama
dengan bidan dalam melayani persalinan. Cakupan kunjungan tenaga kesehatan
pada neonatal dan ibu nifas di semua puskesmas belum mencapai target yang
telah ditetapkan, dapat dilihat pada Tabel 6.
Distant Learning Resouce Center Magister KMPK UGM
http://lrc-kmpk.ugm.ac.id
11
One Wakur, Kristiani, Mubasysyir Hasanbasri; WPS no. 21 Juli 2007 1st draft
Tabel 6. Jumlah Kunjungan Neonatal dan Ibu Nifas
Neonatal Ibu Nifas
Puskesmas Cakupan Cakupan
Sasaran Target
n %
Sasaran Target
N %
Arso Kota 312 70% 144 46,15 327 70% 114 34,86
Arso Barat 195 70% 104 53,33 205 70% 144 55,61
Arso III 294 70% 124 42,18 305 70% 128 41,97
Waris 56 70% 22 39,29 59 70% 21 35,59
Senggi 73 70% 24 32,88 77 70% 26 33,77
Web 93 70% 11 11,83 98 70% 11 11,22
Kabupaten 1023 70% 429 41,94 1078 70% 414 38,4
Indikator keberhasilan proses manajemen dapat dilihat di antaranya dari
faktor keluaran14. Cakupan tersebut merupakan indikasi dari kualitas pelayanan
KIA yang digerakkan oleh puskesmas dan mendapatkan dukungan dari dinas
kesehatan. Dinkes merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi keberhasilan
program di puskesmas. Dinas kesehatan belum mampu memberikan dorongan
yang optimal terhadap program KIA di puskesmas karena keterbatasan SDM baik
secara kuantitas maupun kualitas, akibat dari kebijakan pemekaran Jayapura.
Manusia sebagai faktor input terpenting dalam proses manajemen dan faktor
nonmanusia merupakan faktor input yang menentukan terwujudnya kegiatankegiatan
agar menjadi langkah-langkah nyata untuk mencapai hasil (output)15.
PENUTUP
Kesimpulan
Faktor SDM seksi kesehatan ibu dan anak Dinas Kesehatan Keerom sangat
terbatas baik secara kualitas maupun kuantitas, walaupun input dana mencukupi.
Hal ini menyebabkan dukungan dinas dalam pelaksanaan program KIA di puskesmas
belum optimal. Peran dinkes dalam proses mendukung pelaksanaan program
KIA berupa dukungan terhadap ketersediaan input dan proses. Peran dinkes
dalam proses mendukung ketersediaan input pelaksanaan program KIA hanya
berfungsi mendistribusikan sarana. Penempatan dilakukan oleh bupati bukan oleh
seksi KIA dinkes, sehingga berakibat kebijakan penempatan tidak berdasarkan
kebutuhan tenaga tiap puskesmas. Keterbatasan ini menyebabkan pengembangan
kualitas SDM untuk mengikuti pendidikan juga berkurang. Dalam proses mendukung
pelaksanaan program KIA, dinkes telah melakukan fungsi pengawasan,
pembinaan dan evaluasi pelaksanaan program KIA, walaupun belum optimal
karena keterbatasan kualitas dan kuantitas SDM serta sarana komunikasi antara
dinkes dengan puskesmas. Seksi KIA dinkes hanya menampung dan merekapitulasi
laporan kegiatan KIA. Cakupan pelayanan KIA di puskesmas belum mencapai
target yang telah ditetapkan akibat dari keterbatasan input yang menyebabkan
proses pelaksanaan program KIA di puskesmas tidak berjalan secara maksimal,
terutama di puskesmas yang berlokasi di daerah sangat terpencil.
Distant Learning Resouce Center Magister KMPK UGM
http://lrc-kmpk.ugm.ac.id
12
One Wakur, Kristiani, Mubasysyir Hasanbasri; WPS no. 21 Juli 2007 1st draft
Saran
Pemerintah Daerah Keerom sebaiknya memberikan kewenangan kepada
dinkes khususnya seksi KIA untuk penempatan bidan agar lebih merata. Selain itu
mengusulkan formasi bidan desa ke bupati untuk memenuhi kebutuhan tenaga pelayanan
KIA di desa dan meningkatkan insentif bidan yang akan ditempatkan di
daerah sangat terpencil serta memberikan pembekalan tentang budaya lokal
kepada bidan yang baru direkrut. Bidan yang berprestasi diberi kesempatan untuk
mengembangkan karir di bidang manajamen di seksi KIA dinkes. Dinas Kesehatan
Keerom perlu melakukan kerjasama dengan lembaga pendidikan untuk
mendidik sumber daya manusianya. Penunjukan pegawai untuk mengikuti pendidikan
tersebut menggunakan mekanisme kepegawaian yang berlaku. Puskesmas
sebaiknya lebih terbuka mengalokasian dana untuk program sehingga memberikan
kepuasan kerja terhadap karyawan. Bidan disarankan untuk merangkul dukun
agar masyarakat lebih menerima kedatangan bidan di wilayahnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dinas Kesehatan Keerom (2005) Profil Kesehatan Keerom Tahun 2005
2. Trisnantoro, L. (2005) Desentralisasi Kesehatan di Indonesia dan Perubahan
Fungsi Pemerintah: 2001-2003. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
3. Mardijanto, D., dan Hasanbasri, M. (2005). Evaluasi Manajemen Terpadu Balita
Sakit di Kabupaten Pekalongan. JMPK Vol. 08/No. 01/Maret/2005. Hal.
49-54
4. Departemen Kesehatan (2003). Surat Keputusan Menteri Kesehatan nomor
004/Menkes/SK/I/2003 tentang Kebijakan dan Strategi Desentralisasi Bidang
Kesehatan
5. Handoko, T.H. (2001). Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. BPFE,
Yogyakarta
6. Domatubun, A.E. (2002) Kebudayaan Kesehatan Orang Papua dalam Perspektif
Antropologi Kesehatan. Jurnal Antropologi Papua. Volume 1/1, Agustus
2002, hal. 40-45
7. Dinas Kesehatan Keerom (2004). Uraian Tugas Kasubdin dan Kasie Dinas Kesehatan
Keerom
8. Nyahu, G, (2004), Implementasi Program Deployment Inovations dan Kinerja
Bidan Desa di Kota Palangkaraya. Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
9. Muninjaya, A.A.G. (2004) Manajemen Kesehatan. Edisi II. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Distant Learning Resouce Center Magister KMPK UGM
http://lrc-kmpk.ugm.ac.id
13
One Wakur, Kristiani, Mubasysyir Hasanbasri; WPS no. 21 Juli 2007 1st draft
10. Departemen Kesehatan RI (2002). Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan
Ibu dan Anak (PWS-KIA), Jakarta
11. Aini, Z. (2005). Proses Supervisi Dinas Kesehatan Kota ke Pusekesmas di Kota
Bengkulu. Tesis, Program Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta
12. Blewett, L. (2004) Monitoring the Uninsured: A State Policy Perspective. Journal
of Health Politics, Policy and Law-Volume 29, Number 1, pp. 107-145
13. Kloos, H. (1990). Utilization of Selected Hospitals, Health Centres and Health
Station in Central, Southern and Western Ethiopia, Social Science & Medicine, 3,
101-114
14. Dharma, A. (2004). Manajemen Supervisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
15. Siagian, S.P. (1999 ). Audit Manajemen, Bumi Aksara, Jakarta